Senin, 20 Juni 2011

SISTEM APLIKASI PERPAJAKAN DALAM PEMIKIRAN ABU YUSUF


Negara berkewajiban menyelenggarakan berbagai tugas yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, diperlukan biaya yang tidak sedikit, mustahil dapat ditanggulangi   oleh negara  sendiri tanpa melibatkan warga negaranya.
  Meningkatnya pendapatan negara dalam menyukseskan pembangunan nasional merupakan hal yang sangat urgen.  Pajak dianggap sangat penting, karena ia  merupakan salah satu sumber pemasukan dana (income) untuk  kas negara.[1]
Pada dasarnya, negara didirikan bertujuan  untuk melindungi dan mensejahterakan taraf hidup rakyat di berbagai bidang, khususnya di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya[2]. Pemerintah merealisirnya melalui program pembangunan.  Pembangunan bisa berjalan dengan lancar bila ditunjang ekonomi dan dana yang memadai.
 Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Negara yang sedang melaksanakan pembangunan, tidak mungkin hanya menggantungkan bantuan luar negeri, tetapi lebih mengutamakan pada sumber pendapatan dalam negeri, yang sebagian besar berasal dari pajak.[3]
Ali ibn Abi Talib mensinyalir bahwa negara laksana sebuah taman, yakni  pagar yang menjaga  keselamatan taman itu adalah undang-undang; kepatuhan rakyat kepada undang-undang merupakan penyangga  tegaknya pemerintahan.
Pemerintah itu ibarat pengembala dan pengawal keselamatan negara yang didukung oleh tentara yang kuat. Konsekuensinya,  semua kebutuhan aparat  negara itu ditanggung dan dibiayai oleh negara, yang diambil  dari kas negara.[4]
Dari statemen Ali ibn Abi Talib tersebut, dapat dipahami bahwa pemerintah berkewajiban memberikan  pelayanan dan perlindungan kepada rakyat, sementara rakyat berkewajiban mentaati undang-undang dan mematuhi pemerintah serta pajak untuk membiayai kepentingan rakyat dan negara.
Pemerintah dalam pandangan Islam  adalah orang yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan dan memberikan perlindungan (protection) terhadap rakyat atau warga negara.
 Dalam perkembangan negara sebagai legal state, berarti semua kebijaksanaan pemerintah harus didasarkan pada hukum, termasuk dalam hal ini masalah perpajakan. Pemerintah sebagai abdi rakyat, harus mampu mengimplementasikan pajak tersebut untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Rakyat menanggung dana dan biaya yang diperlukan pemerintah untuk  pembangunan.
Menurut JH. Weaver, KP. Jameson dan N. Blue ada tujuh model pembangunan yang berlaku di dunia, yakni : satu ; Model ILO (International Labour organization), yang menitikberatkan pada penciptaan lapangan kerja (employment generation), dua ; Model chenery dan Bank Dunia, yang menitikberatkan pada  pembentukan modal, tiga ; Model Mahbub al-haq dan James Grant, yang menitikberatkan pada kebutuhan pokok (basic needs) dan pengembangan sumber daya insani, empat ; Model  Irma Ade Iman, yang menitikberatkan pada sumber daya manusia dengan prasarat pada redistribusi aset tanah dan modal fisik, lima;  Model Jhon Mellor, yang menitikberatkan pada pembangunan desa terpadu, enam ; Model Tata Ekonomi Internasional Baru, dimana Mahbub al-Haq menitikberatkan pada yang menunjang pada pembangunan dunia  ketiga, dan tujuh ; Model Campuran[5]
Ketujuh model pembangunan tersebut memiliki karakteristik umum, yakni mengandalkan pada pertumbuhan  Pendapatan Nasional Bruto (GNP), ternyata tidak menguntungkan bagi kaum miskin, kaum elit di kota menghambat kaum petani yang bersifat responsif terhadap kesempatan, dan semuanya memberi tekanan pada dimensi sosial politik.
Mahbub al-Haq mengkritisi dalam tulisannya The Proverty Curtain, ada tujuh dosa perencana pembangunan, yakni : satu ;  Permainan angka atau keterpakuan terhadap angka (fascination with members), dua ; Pengawasan yang berlebihan, tiga. Khayalan investasi, empat ; Kecanduan pada mode (fashion) pembangunan, lima ; Memisahkan rencana dari pelaksanaannya, enam ; Pengabaian sumber daya insani, dan tujuh ; keuntungan  yang berlipat ganda pada kaum minoritas, sementara kaum mayoritas diabaikan.[6]
Dalam hal ini, Jhon Naisbitt menawarkan kecenderungan model pembangunan itu bertumpu pada pembangunan, demokrasi, pendidikan, yang mengandung makna normatif, yakni persamaan, keseimbangan dan keadilan.  
Dalam Islam, paling tidak ada dua sasaran pembangunan sosio-ekonomi. Pertama;  pembangunan dapat mendekatkan manusia pada kehidupan yang penuh harga diri, yang menyangkut substansi spritual dan material bagi seluruh warga negara. Realnya,  materi hendaknya  tidak mendominasi spritual, demikian juga sebaliknya, tetapi sangat ditekankan pada keseimbangan keduanya. Kedua, pembangunan sosio-ekonomi harus dapat mengantarkan kepada keadilan distributif dan mengurangi melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin.[7]
Salah satu cara untuk menunjang pembangunan itu diambil dari hasil pajak. Secara ekslpisit, pajak merupakan instrumen bagi pemerintah untuk membantu masyarakat lemah yang sangat membutuhkan pemerataan kesejahteraan (distribution of welfare). Sementara pemerintah sendiri “distribution of welfare” merupakan suatu sosial benefit  (manfaat  sosial).[8] Dengan demikian, kesejahteran tersebut secara  totalitas dapat dinikmati oleh seluruh warga masyarakat.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintahan) berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (tegen prestatie) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publieke uitgaven), dan yang digunakan  sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.[9]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar