Senin, 20 Juni 2011

PENGELOLAAN ZAKAT MENURUT ISLAM

 

A.     Pendahuluan

Zakat  adalah suatu institusi keagamaan yang merupakan salah satu pilar penting dalam Islam. Zakat salah satu syiar agama dan identitas  masyarakat Islam. Di samping sebagai ibadat dalam mendekatkan diri kepada Allah, ia juga mengandung aspek sosial yang amat mendalam.
Bila dicermati tekstual ayat-ayat al-Quran, Allah mengulang-ulang kata zakat secara ma’rifah sebanyak 30 kali, delapan di antaranya terdapat dalam surat-surat Makkiyah dan yang lainnya termaktub  dalam surat-surat Madaniyah.[1]
Ini mengindikasikan betapa pentingnya  membayar zakat, bagi orang yang telah memenuhi syarat. Seseorang yang telah mengeluarkan zakat, berarti dia telah membersihkan diri, jiwa dan hartanya. Dia telah membersihkan dirinya dari sifat bakhil (stingly) dan membersihkan hartanya dari hak orang lain yang ada dalam hartanya itu. Orang yang menerimanya pun akan suci jiwanya dari sifat dengki, iri hati terhadap orang yang punya harta. Dengan kata lain, Zakat dapat menjembatani dan mengharmoniskan hubungan antara orang kaya (the have) dengan orang miskin (the have not).
Dengan mengeluarkan zakat berarti hubungan vertikal dengan khalik terpelihara, sebagai tanda syukur dan terima kasih, dan hubungan antara sesama manusia (al-aghniyâ’ wa al-masâkîn) tetap eksis sebagai wujud dari rasa solidaritas terhadap nikmat dan rahmat-Nya.
Agar  pengelolaan dan pelaksanaan zakat ini benar-benar berdaya guna dan berhasil guna, maka perlu ada lembaga yang  profesional mengelolanya. Bagaimana  pengelolaan zakat secara profesional ? Jawaban konkretnyanya akan terlihat dalam pembahasan makalah berikut yang diberi judul : Pengelolaan Zakat menurut Islam.

B.      Pengertian Zakat

Zakat secara etimologi berarti al-tathhîr, al-bârakah, al-ziyâdah  al-namuw, berarti bersih, tumbuh, bertambah, berkat, baik dan terpuji.[2] Semua makna ini menurut Yusuf al-Qardhawi dipergunakan al-Quran dan Hadis, yang paling sering digunakan adalah yang berarti bertambah dan tumbuh. Menurut istilah hukum Islam, zakat berarti hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT. pada harta orang Islam untuk diberikan pada pihak-pihak yang ditentukan Allah dalam al-Quran, seperti fakir, miskin, dan lain-lain, sebagai rasa syukur terhadap nikmat Allah sekaligus untuk mendekatkan diri  kepadanya serta pembersihan jiwa dan harta.[3]  Kadar yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat, dan bila dipertautkan kembali dengan pengertian bahasa yang sangat mendasar dengan rumusan syar’i tersebut, maka zakat yang dikeluarkan akan bertambah banyak, menjadi lebih berarti dan melindungi kekayaan muzakki dari ketidak-berkahan, bahkan kebinasaan. Sedangkan arti tumbuh dan suci ditujukan pada  harta yang dizakatkan dan jiwa muzakki, sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 103
“Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.(Surat al-Taubah : 103).

Kata shadaqah pada ayat di atas maksudnya zakat, karena istilah shadaqah merupakan suatu konsep yang mempunyai nilai zakat itu sendiri dan tujuan mengeluarkan shadaqah itu untuk men-tazkiyah-kan harta dan jiwa orang yang memberikannya (muzakki). Dalam penggunaan sehari-hari, orang sering lupa bagaimana pengertian shadaqah yang sesungguhnya. Pengertian tersebut dapat juga dilihat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Ashim al-Dhahhak ibn Makhlad dari Zakaria ibn Ishaq dari Yahya ibn ‘Abdillah ibn Shaifiy ibn Ma’bad dari ibn ‘Abbas ra. bahwa Nabi SAW. mengutus Muadz ke Yaman dan bersabda :
عن ابن عباس ان النبي صلى الله عليه وسلم لمَاَّ بَعَثَ مُعَاذَ ابْنَ جَبَلٍ اِلَى الْيَمَنِ قَالَ اِنَّكَ تَأْتِيْ قَوْمًا اَهْلَ الْكِتَابِ فَاَدْعُهُمْ اِلَى شَهَادَةِ اَنْ لَا اِلهَ اِلَّا اللهُ فَاِنْ اَطَاعُوْكَ لِذَلِكَ فَاعْلَمْهُمْ اِنَّ الله قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ  صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِيَا ئِهِمْ وَتُرَدُّ عَلى فُقَرَائِهِمْ  رواه الجماعة [4]

Ajaklah mereka bersyahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya adalah Rasul Allah, jika mereka patuh, terangkan kepada mereka bahwa Allah memfardukan shalat lima waktu sehari semalam dan jika mereka mentaatinya, terangkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah atas mereka yang kaya dan disalurkan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa zakat merupakan instrumen penting dalam menggalang hubungan vertikal antara muzakki dengan Tuhan serta hubungan horizontal antara sesama manusia, khususnya antara yang kaya dengan yang miskin, dan saling memberikan keuntungan moril maupun materil, baik dari pihak penerima (mustahiq) dan dari pihak pemberi (muzakki).

C. Prinsip-Prinsip Zakat
Menurut Muhammad A. Mannan, zakat mempunyai enam prinsip yang tidak  bisa   terpisah antara  satu dengan yang lainnya, yaitu :1. Prinsip keyakinan keagamaan, 2. Prinsip keadilan, 3.Prinsip produktivitas, 4. Prinsip nalar, 5. Prinsip kebebasan, dan, 6. Prinsip etik dan kewajaran.[5]
Prinsip pertama pengaturan zakat adalah prinsip keyakinan dalam Islam, karena membayar zakat merupakan ibadat. Kata kuncinya hanya orang-orang berimanlah yang dapat melaksanakannya secara utuh.  Pada bagian pendahuluan, penulis telah mengulas bahwa Allah telah memerintahkan shalat dan zakat lebih kurang 30 kali, bertujuan untuk meningkatkan daya spritual. Tegasnya, orang beriman tidak membedakan dan memilah kewajiban antara shalat dan zakat. Dalam kasus ini Abu Bakar pernah berkomentar : “Saya akan memerangi orang-orang yang membedakan antara shalat dan zakat.” Jelaslah, bahwa urgensi shalat dan zakat sangat penting dalam pembinaan mental muqîma al-shalâh (pendiri shalat) dan muzakki.
Prinsip kedua adalah prinsip keadilan dan pemerataan. Prinsip ini sejalan dengan makna substansial zakat itu sendiri, yakni penyaluran dana zakat itu terhadap orang-orang yang berhak menerimanya haruslah  adil dan merata. Keadilan ini terlihat ketika Nabi mewajibkan zakat tanaman yang ditadahi hujan sebanyak 10 % dan tanaman yang membutuhkan tenaga manusia atau biaya penyiraman secara mekanik, zakatnya 5 % saja.  Jadi, makin berkurang jumlah pekerjaan dan modal, maka semakin berkurang pula kadar pungutan zakatnya.
Prinsip ketiga adalah prinsip produktivitas sampai batas waktunya. Zakat dibayar setiap tahun setelah memperhatikan nishabnya. Nishab berarti surplus minimum tahunan dari nilai seharga 20 mitsqal, menurut pendapat jumhur ulama 92 gram emas.[6]
Zakat tidak dikenakan pada benda-benda yang tidak tahan lama yang digunakan untuk keperluan dan konsumsi pribadi, seperti rumah, pakaian, televisi, perabot-perabot rumah dan yang lainnya.
Zakat dihapuskan bila pemiliknya meninggal dunia.  Syafi’i, Ahmad dan beberapa ulama lainnya berpendapat, bahwa orang yang terkena kewajiban zakat, lalu meninggal dunia, maka zakatnya wajib dikeluarkan dari harta peninggalannya, sekalipun ia tidak berwasiat, sebab hak Allah lebih utama dari  hak-hak yang lainnya. Alasan yang mereka tampilkan  adalah hadis  Nabi : Dînullah ahaqqu bi al-qadhâ’,   artinya : “ Hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.
Tetapi menurut Abu Hanifah, zakat orang telah meninggal dunia tidak boleh dikeluarkan, tanpa adanya wasiat, dan bila ada wasiat, maka zakatnya harus dikeluarkan maksimal sepertiga dari harta peninggalannya.[7]
Dalam hal ini, penulis lebih cenderung pendapat yang pertama, karena hak Allah lebih utama dilaksanakan dari pada yang lainnya, dan ini dapat dilaksanakan jika memenuhi syarat.
Prinsip yang keempat ialah prinsip nalar, yaitu orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat adalah seseorang yang berakal dan bertanggung jawab. Dari sini timbul  anggapan bahwa orang yang belum dewasa dan tidak waras, bebas dari zakat, karena itu zakat hanya diwajibkan bagi orang yang mampu melaksanakan kebijaksanaan. Tetapi menurut mazhab Maliki dan Syafi’i (terutama dalam hal zakat ternak dan buah-buahan / biji-bijian) orang yang belum dewasa dan tidak waras terkena zakat. Dasar pendirian ini ialah zakat adalah pajak  harta benda. Yang menjadi barometer kewajiban zakat dalam versi mazhab Maliki dan Syafi’i adalah harta yang dimiliki dan memenuhi syarat, bukan kondisi mental spritual si muzakki.[8]
Mencermati pendapat yang berkembang di atas, penulis cenderung kepada pendapat yang mengatakan, bahwa orang yang belum dewasa dan  tidak waras terkena zakat dengan syarat harta benda mereka  dalam pemeliharaan para walinya. Para wali inilah  yang memberikan penjelasan kepada orang yang dalam pengampuannya, sehingga harta benda mereka dapat dimanfaatkan  dengan cara logis dan bijaksana (reasonable and wisdom).
Prinsip kelima ialah kebebasan.  Zakat hanya dibayar oleh orang yang bebas dan sehat jasmani dan rohaninya,  yang merasa mempunyai responsibilitas dan akuntabilitas  untuk membayar zakat demi kepentingan bersama. Zakat tidak dipungut dari orang yang sedang dihukum atau orang yang sedang  menderita sakit jiwa.
Prinsip terakhir adalah prinsip etik dan kewajaran, menyatakan bahwa zakat tidak diminta secara semena-mena atau paksa, karena hal ini bertentangan dengan konsep Islam dan tidak manusiawi. Zakat juga tidak dipungut dari orang lemah, karena dengan pemungutan tersebut   akan memberatkan dan menambah penderitaan bagi diri dan keluarganya.[9]
Bila  prinsip-prinsip  di atas dapat diaplikasikan , maka  pelaksanaan zakat akan berjalan dengan baik dan objektif sebagaimana yang diharapkan syari’at Islam dan umatnya, dan hubungan orang kaya dan miskin semakin mengakar dan harmonis.

D.    Pengelolaan Zakat secara Profesional
Zakat mempunyai peranan penting dalam sistem perekonomian Islam, karena zakat adalah salah satu sumber dana yang sangat krusial untuk menciptakan pemerataan kehidupan ekonomi masyarakat Islam.
Zakat, di samping sebagai ibadat, pun merupakan kewajiban yang menyangkut fungsi sosial. Ia merupakan taklif al-nafs (kewajiban pribadi), karena pembebanan zakat itu  menyangkut dengan diri dan jiwa seorang muslim.[10]
Zakat berfungsi sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, membersihkan diri dan harta kekayaan dari kotoran-kotoran, juga menjadi batu harapan bagi kaum fakir miskin dan menjadi sarana penunjang, pengembangan, dan pelestarian ajaran Islam dalam masyarakat.[11] Zakat dapat membantu, mencukupi dan menolong masyarakat untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan dirasakan masyarakat.[12] 
Zakat merupakan instrumen pencipta (stabilizer) kerukunan hidup antara golongan kaya dengan kaum fakir miskin, karena ia merupakan sumber dana tetap yang cukup potensial untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup manusia, baik jasmani maupun rohani.
Dali-dalil yang memberi isyarat tentang adanya lembaga yang bertugas untuk mengelola zakat antara lain adalah :
1.      Surat al-Taubah ayat 60 yang menetapkan bahwa amil zakat salah satu di antara asnaf yang berhak menerima zakat berdasarkan kerja mereka.
2.      Surat al-Taubah ayat 103, yang memberi tugas kepada Nabi SAW. memungut zakat dari orang kaya dan mendistribusikannnya kepada mereka yang berhak menerimanya.
3.      Hadis yang diterima dari Ibn ‘Abbas yang menerangkan bahwa Nabi SAW. bersabda :

اِنَّ الله قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ  صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِيَا ئِهِمْ وَتُرَدُّ عَلى فُقَرَائِهِمْ  رواه الجماعة [13]
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat terhadap harta kekayaan kepada mereka (penduduk Yaman), dipungut dari orang-orang kaya dan kemudian disalurkan kepada orang-orang fakir dari mereka (H.R. Muttafaq ‘alaih)

Untuk menciptakan pengelolaan yang baik dan profesional diperlukan kualifikasi-kualifikasi sebagai berikut:
a.      perlu adanya penyuluhan terhadap masyarakat tentang ketentuan-ketentuan zakat, sehingga mereka sadar akan makna, tujuan, dan hikmah dari zakat tersebut.
b.      Menginventarisir orang-orang yang wajib zakat dan orang-orang yang berhak menerima zakat serta mendeteksi mustahik zakat yang lebih membutuhkannya.[14]
c.       Amil zakat benar-benar orang terpercaya, karena zakat adalah masalah yang sensitif. Oleh karenanya dibutuhkan kejujuran dan keikhlasan amil zakat untuk menumbuhkan adanya kepercayaan masyarakat terhadap amil zakat.
d.     Perlu adanya perencanaan dan pengawasan atas pelaksanaan dan pemungutan zakat yang baik.[15]
Sebelum melakukan pemungutan zakat, sedapat mungkin sudah dapat diinventerisir dan direncanakan terlebih dahulu jenis-jenis kekayaan masyarakat yang dapat dijadikan sumber zakat, siapa-siapa yang dikenakan zakat, bagaimana cara pemungutannya, bagaimana kiat pemeliharaannya, siapa-siapa yang berhak menerimanya, bagaimana perimbangan pembagian di antara asnaf yang delapan itu.
Di dalam pelaksanaan pengumpulan, pemeliharaan dan pembagian zakat agar betul-betul dapat dilakukan seoptimal mungkin, sehingga tidak terjadi penyelewengan. Dalam peraturan asnaf yang delapan itu, benar-benar sudah dapat dibahas sektor-sektor mana yang lebih diprioritaskan mendapat pembagian yang lebih besar dari lainnya, sehingga dapat diaplikasikan azas manfaat yang sebesar-besarnya dan prinsip efektifitas dan efisiensi kerja di dalam pengelolaan zakat.[16]
Mengenai pemanfaatan hasil zakat akan lebih baik apabila dapat dipertimbangkan pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan pemenuhan jangka panjang bagi fakir miskin. Misalnya sebagian dari hasil pemungutan zakat itu dijadikan modal suatu usaha atau koperasi dimana fakir misklin yang berhak menjadi pemegang saham. Dengan demikian hasil zakat tidak semata-mata dikonsumir tetapi juga diproduksikan.
Salah satau perkembangan yang dapat kita amati sekarang ini ialah adanya perpindahan arus agama, sehingga sejumlah non Islan masuk menganut agama Islam, karenanya perlu menaruh perhatian pada kelompok mu’allaf ini.
Selain itu, menarik juga perkembangamn yang ada sekarang ini, di mana zakat digunakan untuk membiayai pembangunan atau perbaikan mesjid dan lain-lain kepentingan umum (maslahah ‘ammah). Terdapat kecenderungan mengkategorikan hal tersebut dalam sabîlullâh. Menurut Syekh Syarbini, bahwa sesungguhnya penafsiran sabîlullâh, dengan al-ghuzah (jihad).[17]
Di lain pihak biaya untuk kepentingan umum (maslahah ‘âmmah) dalam rumusan biasa dari fikih tertampung dalam sahm al-gharîm. Dirterangkan oleh Syekh Bakri Syata al-Dimyathi, berpendapat bahwa zakat dapat diberikan kepada orang yang meminjam untuk membiayai kepentingan umum, dan tidak secara langsung membiayai kepentingan umum tsb dari semula, misalnya untuk membangun masjid, membangun madrasah, menebus tawanan, dan lain-lain.[18]
Dalam hal ini, penulis sependapat bila zakat itu digunakan kepentingan umum (maslahah ‘âmmah) yang diambil bagian sabîlullah dan al-gharîm, tetapi jangan secara langsung untuk membiayai kepentingan umum dari sejak awal, dan zakat ini diserahkan si muzaki kepada panitia pembanguann dan oleh panitia pembangunan disalurkan untuk pembangunan (kepentingan umum) tadi, apakah untuk bangunan masjid, madrasah, rumah sakit Islam, dan lain-lain.

E. Kesimpulan
Dari urain-uraian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Zakat merupakan suatu institusi keagamaan yang merupakan pilar-pilar tertinggi dalam Islam yang mengandung dua dimensi, yakni hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal sesama manusia.
2. Di dalam pelaksanaan zakat, ada enam prinsip ryang harus diterapkan, yaitu : prinsip keyakinan, prinsip pemerataan, prinsip produktivitas dan kematangan, prinsip nalar, prinsip kebebasan, dan prinsip etik dan kemajuan
3. Untuk menciptakan pengelolaan zakat yang baik dan profesional adalah :
a.           Perlu adanya penyuluhan terhadap masyarakat tentang ketentuan-ketentuan zakat, sehingga mereka sadar akan makna, tujuan dan hikmah dari zakat.
b.          Menginventarisir orang-orang yang wajib zakat dan orang-orang yang berhak menerima zakat serta mendeteksi mustahik zakat yang lebih membutuhkannya.
c.           Amil zakat benar- benar orang yang terpercaya, bersikap jujur dan ikhlas, sehingga tercipta kepercayaan masyarakat terhadap amil zakat.
d.          Dengan terlaksananya prinsip-prinsip zakat dan pengelolaannya secara baik dan profesional,  berarti tujuan dan fungsi sosial zakat tersebut telah tercapai secara optimal.

















[1]T.M.Hasbi Ashshiddieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta : PT. Bulan Bintang,  1991), hlm. 25
[2]Ahmad Warson Munawwir, Qâmûs al-Munawwir, (Surabaya : Penerbit Pustaka  Progresif, 1997), hlm. 577-578. Lihat juga : Mahmud Syalthut, Min Taujîhât al-Islâm, (Kairo : Dar al-Qalam, 1966), hlm. 106
[3]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakâh Dirâsatu Muqâranati li Ahkâmihâ wa Falsafâtihâ fi Dhau’ al-Qur’ân wa al-Sunnah, (tk. : Dar al-Ma’rifah, 1389 H/ 1969 M), hlm. 34 
[4]Imam al-Bukhari, Shahîh Bukhârî, Juz 11, hlm 120
[5]Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics; Theory and Practice, terj.  M. Nastangin,  (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), hlm. 257. Bandingkan dengan : Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta : UI Press, 1988), hlm. 39
[6]A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, (Jakarta : Gaya  Media Pratama, 1997), hlm.189
[7]Lahmuddin Nasution,  Fiqh 1, (Jakarta : Gaya Media Pratama, tt.), hlm. 147
[8]Muhammad Abdul Mannan,, op.cit., hlm. 259
[9]Mubyarto, Zakat dalam Negara Pancasila,Buku Panduan Pesantren No.2 tahun (tk. : tp., 1986), hlm. 33
[10]Harun Masution, Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta : Djambatan, 1992), hlm1004
[11]Direkotorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqih, Jilid I, (Jakarta  : P3S PTA /IAIN, 1983), hlm. 267
[12]Djamaluddin Darwis, English for Islamic Studies,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 144-145
[13]Imam al-Bukhari,  loccit
[14]A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, op.cit., hlm. 208
[15]Dirbinpertais, op. cit., hlm. 268
[16]Ibid
[17]Muhammad al-Syarbini al-Khathib, Mughni al-Muhtâj,(Surabaya : salim Nabhan, 1943), hlm. 117
[18]Syekh Bakri Syata al-Dimyathi , I’ânah al-Thâlibîn ,(Kairo : Mathba’ah al-Masyhad al-Hasani, 1967), hlm. 192

Tidak ada komentar:

Posting Komentar