Selasa, 21 Juni 2011

Enam Penulis STAIN Kerinci diberikan Penghargaan

Tidak seperti biasanya, apel rutin Hari Kesadaran Nasional yang  dihelat dilapangan upacara STAIN Kerinci , Rabu , 18 Mei 2011, diisi dengan kegiatan khusus dan istimewa. Pada kesempatan itu dilaksanakan pemberian penghargaan berupa sertifikat dan cendramata dari civitas akademika STAIN kepada penulis  dari STAIN Kerinci. Penghargaan yang diberikan langsung oleh Ketua STAIN, Dr.Y.Sonafist diterima langsung oleh para penulis yang terdiri dari :
  1. Muhamad Yusuf, S.Ag, M.Ag
  2. Dr. Mhd Rasidin, M.Ag
  3. Drs.Asy'ari, M.Ag
  4. Ishaq, SH, M.Hum
  5. Drs. Ali Hamzah, M.Ag
  6. Nur Rusliah, S.Si, M.Si
Disamping itu, pada kesempatan tersebut, Ketua STAIN dalam sambutannya menyampaikan bahwa tugas civitas akademika  STAIN Kerinci lima tahun mendatang akan sangat berat dan menantang. Hal ini disampaikan oleh Ketua STAIN Kerinci berencana akan meningkatkan status dari Sekolah Tinggi menjadi Universitas Islam Negeri, atau minimal menjadi Institud Agama Islam Negeri (IAIN). "Semua bagian harus bersama-sama meningkatkan produktivitas kerta, guna peningkatan kualitas STAIN secara keseluruhan " jelas Ketua STAIN dalam sambutannya.(Jafar Ahmad,M.Si)

SUMBER :  http://www.stainkerinci.ac.id/baca/133/enam.penulis.stain.kerinci.diberikan.penghargaan

Senin, 20 Juni 2011

TIPS MUDAH BANGUN SUBUH



Waktu Subuh  memang terkadang melelapkan tidur kita. Godaan bertubi-tubi  untuk menutup rapat selimut ataupun menghangatkan tubuh  dan kembali terlelap atau sembunyi dari hawa dingin fajar.
Jika disadari waktu subuh banyak memiliki keutamaan, antara lain shalat Subuh dapat terlaksanakan, dapat melaksanakan apa yang kita rencanakan di pagi hari, menyehatkan badan kita, dan lain-lain.
Rasulullah bersabda :
Tidak ada shalat yang lebih berat atas orang-orang munafik dari shalat Subuh dan Isya’, seandainya mereka mengetahui keutamaannya pasti mereka akan mendatanginya meski harus merangkak.(HR. Bukhari).
Tulisan ini bermaksud untuk mengajak kita untuk belajar menata diri  agar shalat Subuh kita tidak tinggal (bolong). Adapun tips yang mungkin bisa diterapkan guna memperlancar usaha kita.
1.      Bulatkan tekad dan luruskan niat
Sesungguhnya peranan niat itu sangat penting. Jika kita ingin senantiasa bangun shalat Subuh hal yang utama ialah niat. Niat tidak hanya diperuntukkan  sesaat ketika hendak beribadah, bahkan sebelum  beribadahpun kita harus  menancapkan niat yang utuh. Tanyakan pada diri kita, apakah kita benar-benar ingin bangun kemudian menunaikan shalat atau tidak ? Jika niat dan tekad sudah bulat,   maka kita akan terdorong untuk segera bangun
2.   Tanamkan rasa takut kepada Allah
       Rasa takut kepada Sang Khalik akan memberikan dorongan dan semangat yang luar biasa. Rasa takut ini pulalah yang akan membuat   kita berpikir berulang kali apabila hendak melewatkan Subuh. Sadarkah  bahwa shalat Subuh itu sebagian dari perintah Allah ? Apakah kita biarkan lewat begitu saja ? Tidakkah kita takut terhadap ‘azab Allah ?

3.   Jauhi maksiat
Maksiat yang kita lakukan, sekecil apapun bentuknya akan berpengaruh terhadap kondisi ruhiyah kita. Perbuatan maksiat akan menghalangi kita berbuat baik dan kebajikan. Tak obahnya seseorang  yang makan makanan busuk yang mengandung penyakit. Akibat makanan busuk yang ia makan akan membuat ia trauma menyantap makanan yang jauh lebih baik dan nikmat, akibat dari memakan makanan busuk tadi.

4.   Perbanyak istighfar
Dalam menapaki kehidupan ini, kita selalu berusaha menghindari diri dari perbuatan maksiat, tapi namanya manusia biasa kita tidak luput dari kesalahan. Di sinilah pentingnya kita agar senantiasa mawas diri dan beristighfar. Setiap permohonan yang kita ucapkan menjadi tabungan yang kian hari makin bertambah, dan merupakan pertimbangan yang signifikan bagi Allah untuk memberi ampunan terhadap dosa dan maksiat yang pernah kita lakukan. Yang penting kita sungguh-sungguh dalam mengucapkan kalimat-kalimat istighfar   serta kita pahami maknanya satu demi satu. Ingat ! Jangan pernah berhenti istighfar, dan tinggalkan dosa dan maksiat sejauh kemampuan kita. Jangan pelesetkan istighfar, artinya istighfar jalan terus, berbuat maksiat on line juga. Ketahuilah ! Kalau kita benar-benar istighfar dan bertaubat, Allah akan memberikan kekuatan  kepada kita untuk meninggalkan rupa-rupa dosa dan maksiat yang selalu mengitari bingkai kehidupan kita. Ampunan Allah tetap terbuka bagi hambanya siang dan malam. Rasul bersabda :

اِنَّ اللهَ يَبْـسُطُ يَدَهُ بِالَّليْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيْئُ النَّهَارِوَيَبـسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِلِيَـتُوْبَ مُسِيْئُ الَّليْلِ حَـتَّى تَطْلُعَ الشَّمْـسُ مِنْ مَغْـرِبِهَا – رواه مسلم
“Sesungguhnya Allah mengulurkan tangan-Nya  di malam hari untuk menerima  taubatnya orang yang mengerjakan kejahatan di siang hari, dan Ia mengulurkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubatnya orang yang  berbuat jahat di malam hari. Demikianlah hingga terbit matahari di Barat (menjelang hari kiamat)”(HR. Muslim)

5.      Jangan begadang
Kebiasaan begadang rentan sekali membuat shalat Subuh kita terlewat. Apalagi kita tidurnya pada jam-jam yang tanggung, misalnya jam 02.00 atau jam 03.00 dini hari. Seandainya kondisi menuntut kita  untuk begadang, sebaiknya jangan tidur dulu sampai waktu shalat Subuh tiba. Setelah Subuh ditunaikan, baru tidur. Meski demikian, kebiasaan begadang kurang bagus bagi kesehatan dan ibadah kita. Islam melarang kita membiasakan  begadang.  Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra. ia berkata : “Rasulullah melarang kita untuk begadang sehabis shalat Isya”. (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Turmudzi)

6.  Jangan  makan dan minum terlalu kenyang. Terlalu banyak makan dan minum sebelum tidur akan membuat tidur kita terlelap. Bisa-bisa saking kekenyangan, tidur kita bisa kebablasan. Kalaupun mau makan sebelum tidur, makanlah secukupnya, jangan berlebihan.

7.   Teladani cara tidur Rasululla Saw.
Adab tidur yang diajarkan Rasulullah Saw, antara lain :
v  Bersuci dan wudhulah sebelum tidur
v  Tidur miring di tubuh bagian kanan. Posisi ini sangat baik untuk kesehatan dan mengandung beberapa manfaat, antara lain agar makanan yang berada dalam lambung (perut besar)  dalam keadaan baik, tidak berhimpit dengan hati, sehingga pencernaan makanan berjalan dengan normal dan baik.
v  Bacalah sebagian dari ayat-ayat al-Quran. Di antaranya surat al-‘Alaq, an-An-Nas, al-Ikhlas, ayat Kursi, dan ayat terakhir dari surat al-Baqarah.
v  Berdoalah sebelum tidur. Di antara doa yang biasa dibaca :
بِـسْمِكَ الّلهُـمَّ اَحْيَا وَاَمُـوْتُ
Degan nama-Mu ya Allah aku hidup dan mati

8. Ingat selalu akan keutamaan  shalat Subuh
     Kalau perlu tulis keutamaan shalat  tersebut  dalam selembar kertas  dan gantungkan di dinding kamar kita. Sedikit banyaknya itu akan dapat membangkitkan kembali semangat kita untuk bangun di waktu Subuh. Keutamaan shalat Subuh, antara lain :
v  Berada dalam tanggungan dan penjagaan Allah. Diriwayatkan dari Abu Dzar ra., ia berkata : Rasulullah Saw. bersabda : “Barang siapa yang shalat Subuh, maka ia berada dalam tanggungan Allah”. (HR. Muslim)
v  Pahala shalat sepanjang malam. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan, ia berkata : Rasulullah Saw. bersabda : “Barang siapa yang shalat Isya berjama’ah, maka ia layaknya shalat setengah malam dan barang siapa yang shalat Subuh berjama’ah, maka ia telah shalat sepanjang malam.”(HR. Muslim)
v  Raihlah cahaya yang sempurna itu. Diriwayatkan dari Buraidah ra., ia berkata : Rasulullah Saw. bersabda : “Berikanlah kabar gembira kepada orang yang  berjalan di kegelapan (fajar) menuju masjid  dengan cahaya yang sempurna di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)
v  Janji akan masuk surga. Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari  ra., ia berkata : Rasulullah Saw. bersabda : “Barang siapa yang shalat baradain (shalat Ashar dan Subuh), maka ia akan masuk surga. (HR. Bukhari dan Muslim).
9. Pergunakan alarm
     Salah satu alat untuk membantu mempermudah bangun di waktu Subuh, kita bisa menggunakan alarm. Bisa berupa jam weker atau HP kita. Percuma saja alarm, kalau kita tidak mau bangun, atau mau bangun tapi alarmnya dimatikan, lalu tidur lagi.  Di sini perlu peranan niat/motivasi dari dalam diri. Apabila niat sudah bulat, maka begitu dengar bunyi alarm  kita bergegas untuk beranjak dari tempat tidur. Semoga bermanfaat bagi kita.

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR SOSIAL TERHADAP IJTIHAD ABU BAKAR AL-SHIDDIQ

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR SOSIAL TERHADAP 
IJTIHAD ABU BAKAR  AL-SHIDDIQ
Oleh: Ali Hamzah
A. Pendahuluan
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari ker  idhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.s. 29: 69)

Ayat ini menjelaskan pentingnya eksistensi ijtihad untuk mencari hukum-hukum  dari al-Quran dan Sunnah. Dalam mempelajari  metode ijtihad Khulafâ’ al-Râsyidin, semasa hidup Nabi Saw. belum  ada masalah  yang melibatkan mereka secara intens dalam perumusan hukum. Pasca Nabi wafat yang berarti putusnya wahyu ilahi, mereka mulai mengerahkan daya upaya untuk mengupas hukum dari al-Quran  ataupun dari praktek Nabi Saw. sendiri. Dalam kasus pemilihan Abu Bakar misalnya mereka mulai menggunakan teori qiyas. Disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah meminta Abu Bakar untuk menjadi Imam shalat. Logikanya, jika dalam masalah kepemimpinan agama saja, Nabi mempercayakan pada Abu Bakar, maka dalam urusan-urusan qiyâdah dunyawiyah (kepemimpinan duniawi) seharusnya lebih utama. Lebih dari itu para sahabat melihat adanya persamaan ’illat antara dua kasus tadi  yang kemudian melahirkan  keputusan pengangkatan Abu Bakar.
Kasus kepemimpinan Abu Bakar  tidak saja mengisyaratkan  teori qiyas, tetapi memberikan suatu kaidah lain berupa ijma’ . Sebab proses pemilihan beliau itu berdasarkan keputusan (ijma’) semua sahabat pada saat itu. Selama kepemimpinan beliau lebih kurang 2 tahun tiga bulan, banyak kasus-kasus keagamaan dan  siyasiyah yang ditemukan beliau yang sifatnya merusak program-program ke depan khalifah Abu Bakar. Namun berkat kebersamaan antara khalifah Abu Bakar dengan Umar ibn al-Khattab, Usman ibn ’Affan, Ali ibn Abi Thalib dan sahabat-sahabat lainnya yang didasari ijtihad brilian (mandiri dan kolektif), sehingga kepemimpinan Abu Bakar bisa berjalan dengan baik.
Makalah singkat ini akan menyoroti masalah-masalah ijtihad Abu Bakar yang mengandung nuansa hukum yang bersifat obyektif-sosiologis, baik sebelum beliau diangkat menjadi khalifah maupun selama beliau menjadi khalifah.

B. Biografi Abu Bakar  (573-22 Jumadil akhir - 13 H/23 Agustus  634)

Abu Bakar adalah khalifah pertama dari khulafa’ ar-Rasyidin, sahabat Nabi yang terdekat, dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam (assâbiqûn al-awawalûn). Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah at-Tamimi. Setelah masuk Islam, Nabi SAW menukar namanya menjadi Abdullah. Gelar Abu Bakar diberikan Rasul,  karena ia orang yang paling cepat masuk Islam, sedangkan gelar as-siddiq yang berarti ’amat membenarkan’ adalah gelar yang diberikan kepadanya karena ia amat segera membenarkan Rasulullah SAW dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra’ Mikraj.
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Abi Kuhafah Usman bin Amir bin ’Amr bin Ka’ab bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ayy bin Ghalib al-Qursyi  al-Taimi. Ibunya bernama Ummu Khair Salma binti Sakhr yang berasal dari keturunan Kuraisy. Garis keturunannya bertemu dengan Nabi pada Murrah ibn Ka’ab.[1]
Dia memiliki sifat-sifat terpuji yaitu baik, takwa, jujur, tidak khianat, dan lemah lembut dan lain-lain. Sifat-sifat yang mulia itu membuat ia disenangi dalam masyarakat. Ia menjadi sahabat Nabi SAW sejak keduanya masih remaja. Setelah remaja dia mencari nafkah dengan jalan berdagang. Disamping pedagang ia dikenal amat jujur, berhati suci, dan sangat dermawan.
Abu Bakar dikenal mahir dalam ilmu nasab (pengetahuan mengenai silsilah keturunan). Ia menguasai dengan baik berbagai nasab kabilah dan suku-suku Arab, bahkan juga dapat mengetahui ketinggian dan kerendahan derajat masing-masing dalam bangsa Arab, terlebih lagi suku-suku Arab Kuraisy.
Abu Bakar mendapat hidayah Allah masuk agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Setelah resmi memeluk agama Islam, kekayaan itu kemudian diserahkan untuk kepentingan agama Islam, terutama untuk kegiatan penyiaran dan dakwah Islam. Abu Bakar pun juga giat berdakwah mengajak masyarakat Kuraisy untuk memeluk agama Islam. Implikasi dakwahnya ini, banyak sekali orang-orang Kuraisy yang menerima hidayah Allah hingga dengan kesadarannya sendiri memeluk agama Islam. Bahkan banyak sekali tokoh terkemuka dari suku Kuraisy yang masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar, diantaranya Utsman Bin Affan, Zubair Bin Awam, Abdurahman bin ’Auf, Abdullah Bin Mas’ud dan sebagainya. Mereka semua disebut sebagai As Sâbiqûn al-Awwalûn yang artinya kaum yang pertama masuk Islam.
Pada awal tahun kenabian, Abu Bakar adalah orang yang pertama yang mengakui kenabian Muhammad Saw dari kaum laki-laki. Ia sering sekali menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan memang layak untuk ditolong. Bahkan banyak sekali budak-budak yang dimerdekakannya dengan membeli dari tuannya sebagai tembusan, diantaranya adalah Bilal Bin Rabah, budak dari Umayyah, Amir Fuhairah budak dari Thufail bin Abdullah dan masih banyak lagi budak-budak yang dimerdekakannya. Abu Bakar juga mengharamkan  minuman keras  untuk dirinya pada masa Jahiliah. Bahkan dia tidak pernah menyembah dan bersujud pada berhala apapun. Diapun dianggap sebagai orang kedua dalam Islam setelah Rasulullah.[2]
Semasa kecil Abu Bakar hidup seperti umumya anak-anak di Mekkah. Di masa remaja ia bekerja sebagai pedagang kain. Usahanya ini sampai mendapatkan kesuksesan. Dalam usia muda ia kawin dengan Qutailah ibn Abdul Uzza. Dari perkawinan ini lahir Abdullah dan Asma’. Kemudian ia kawin lagi Umm Rauman binti Amir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abdurrahman  dan Aisyah. Di Madinah ia kawin lagi dengan Habibah binti Kharijah, setelah itu  ia kawin lagi Asma’ bin’Uwaimis yang melahirkan Muhammad. Sementara itu usahanya maju dengan pesat dan mendapatkan keuntungan yang luar biasa.[3]
Abu Bakar menjabat kursi kekhalifahan  lebih dari dua tahun (11-13 H/632-634 M). Setelah dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan pidato inaugurasi, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam  dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat Islam pasca Nabi wafat. Inilah sebagian kutipan pidatonya :
”Wahai manusia! Aku telah diangkat  untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat melaksanakan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedang orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat  mengembalikan haknya kepadanya. Mak hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan rasul-Nya, kamu tidak perlu mentaatiku.”[4]

Abu Bakar wafat pada tahun 634 di Madinah.

C. Ijtihad Abu Bakar dalam Bidang Hukum Islam
1.    Berkenaan dengan harta peninggalan Nabi Muhammad Saw.
Sebelum Abu Bakar diangkat  menjadi khalifah, beliau berijtihad berkenaan dengan harta  peninggalan Nabi Muhammad Saw. Dalam al-Quran dikatakan bahwa ahli waris  dapat menerima  harta pusaka apabila muwarits meninggalkan harta, sebagaimana firman Allah  dalam surat a-Nisa (4) ayat 11 yang artinya  :

Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[5]
      
Ketika Nabi Muhammad wafat yang menjadi ahli waris adalah  Fatimah.  Abu Bakar meriwayatkan salah satu dari hadis Nabi Saw :

نَحْنُ مَعَاشَرَ الْاَنْبِيَاءِ لَا نُوْرِثُ, مَاتَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ
Kami para sekalian para nabi tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah

Berdasarkan riwayat itu, Abu bakar berijtihad bahwa surat al-Nisa (4) ayat 11 di-takhshish oleh hadis tersebut. Karena itu, Fatimah tidak dapat menerima pusaka dari Nabi, karena harta yang ditinggalkan Nabi statusnya adalah shadaqah.
2.      Berkenaan dengan seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang kadar bagian yang dapat diterimanya dalam salah satu pembagian harta pusaka. Abu Bakar tidak menemukan ketentuannya dalam al-Qur’an kemudian ia bertanya kepada sahabat. Salah seorang sahabat bernama al-Mughirah ibn Syu’bah mengatakan bahwa Nabi pernah bersabda ” Berilah seorang nenek  seperenam  dari harta warisan.  Riwayat al-Mughirah  ibn Syu’bah ini dikuatkan oleh Muhammad ibn Musalamah. Dan itulah yang menjadi keputusan Abu Bakar.[6]
3.      Abu Bakar memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Ia sangat perhatian terhadap kaum lemah terutama para budak Islam. Sejumlah budak yang disiksa oleh  tuannya karena karena mereka memeluk Islam ditebus oleh Abu Bakar kemudian dimerdekakan. Antara lain adalah Bila ibn Rabah. Kasus terjadi sebelum beliau diangkat menjadi khalifah. Bahkan beliau rela berkorban untuk kepetingan agama Islam secara luas. Kedekatan Abu Bakar dengan dengan kaum yang lemah ini menunjukkan telah terjalinnya hubungan sosiologis dan psikolgis di antara mereka.
4.      Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat sekaligus tanggung jawab sosial, Abu Bakar membentuk Lembaga Keuangan yang disebut Bait al-Mâl dimana pengelolaannya diamanahkan kepada Abu ’Ubaidah, sahabat Nabi yang diberi gelar amîn al-ummah (kepercayaan umat). 
5.      Abu Bakar juga berijtihad mendirikan Lembaga Peradilan yang ketuanya diserahkan kepada Umar ibn Khattab. Ini sebagai penghargaan yang sangat penting, buat Umar ibn Khattab yang sangat brilian (mujtahid), bersifat tegas dan berani mengambil keputusan hukum, demi kemaslahatan negara Islam.
6.      Abu Bakar membuat kebijakan  membagi sama rata hasil rampasan  perang (ganîmah), dengan alasan bahwa semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam akan mendapat balasan pahala dari Allah Swt. di akhirat. Karena itu biarlah mereka di dunia mendapat bagian yang sama. Sebaliknya Umar ibn Khattab menginginkan  dilakukan berdasarkan kinerja dan loyalitas masing-masing sahabat.[7] Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara Abu Bakar dan Umar, namun mereka tetap menjalin hubungan yang baik dalam segala lini yang menyangkut dengan pemerintahan dan agama.
7.      Menetapkan calon khalifah  yang akan menggantikannya setelah beliau wafat. Dia telah menyeleksi secara obyektif ditinjau dari  berbagai segi serta amanah dalam mengemban tugas kekhalifahannya, yaitu Umar ibn khattab, dimana sebelumnya telah dibawa ke forum dan dimusyawarahkan. Setelah disepakati barulah diumumkannya secara resmi.[8] Di sini terlihat ijtihad Abu Bakar yang sangat bersifat sosiologis[9], beliau menganggap tidak etis mendahului  keputusan publik, dan inilah makna sistem pemerintahan yang demokratis.

8.      Memberantas gerakan riddah dan Pembangkang  Zakat. Setelah Abu Bakar[10] memangku jabatan Khalifah, muncullah kelompok yang antipati dan mengadakan permusuhan terhadap orang-orang yang masih komit keislamannya. Sebagian mereka ada yang  membangkang membayar zakat, dan ada juga gerakan riddah.  Mereka sangat membenci Abu Bakar. Abu Bakar berijitihad, kasus ini  perlu cepat diatasi, karena  sejak dibebaskannya Mekkah dan masuknya Ta’if ke dalam Islam belum pernah terjadi hal seperti itu. Keengganan membayar itu, baik karena kikir dan kelihaian mereka seperti kelihaiannya dalam mencari dan menyimpan uang, dan pergi kian kemari sampai mengorbankan hidupnya demi memperolehnya,  atau karena anggapan bahwa pembayaran itu sebagai upeti yang sudah tidak berlaku lagi sesudah Rasulullah wafat, dan boleh dibayarkan kepada siapa saja yang mereka pilih sendiri sebagai pemimpinnya di Medinah. Mereka mogok tak mau membayar zakat dengan menyatakan bahwa dalam hal ini mereka tidak tunduk kepada Abu Bakar.
Masalah ini berpangkal dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id dari Lais Uqail dari Zuhri dari Ubaidillah bin Abdullah Ibn ’Utbah dari Abi Hurairah. Ia berkata: Setelah Nabi Muhammad meninggal terjadi pembangkangan membayar zakat, Abu Bakar memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. ’Umar bin Khaththab menegurnya dengan berkata :
”Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda: Saya pernah disuruh Rasulullah memerangi orang-orang sampai mereka mengucapkan kalimah ”la ilaha illa Allah”. Barang siapa sudah mengucapkan kalimah”la ilaha illa Allah” maka Allah menjaga harta dan darahnya, kecuali dengan ”hak”nya. Semua urusannya ditangan Allah” (H.R Bukhari Muslim)[11]

Atas dasar hadis nabi yang dipakai oleh ’Umar bin Khattab untuk menegur Abu Bakar, ia menjawab teguran ’Umar: ”Demi Allah, sesungguhnya saya akan memerangi siapa saja yang membedakan salat dengan zakat. Sebab zakat termasuk ”hak”nya atas harta”.[12] Abu Bakar bertekad akan melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang telah diletakkan oleh pendahulunya; Nabi Muhammad SAW. yaitu melaksanakan syari’at Islam, melaksanakan musyawarah, menjamin hak-hak umat secara adil, memelihara ketaatan rakyat kepada pemerintah secara limitatif selama pemerintah ta’at kepada Allah dan Rasul, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta mendorong terwujudnya kehidupan taqwa.
Pada tahun pertama jabatan Abu Bakar, kepemimpinannya langsung diuji, yaitu menghadapi ancaman yang timbul dari kalangan umat Islam sendiri. Ancaman ini dapat menghancurkan bangunan struktur Islam dan tatanan kehidupan umat Islam yang dibangun oleh Nabi dengan susah payah. Karena tidak lama setelah Nabi wafat dan Abu Bakar terpilih jadi khalifah, muncul kelompok-kelompok umat Islam di berbagai daerah menentang kepemimpinannya. Yaitu mereka yang murtad dari agama Islam dan kembali kepada agama mereka semula, mereka yang ingkar membayar zakat, orang-orang yang mengaku nabi dan pengikutnya, dan beberapa kabilah yang memberontak.[13] Di samping ancaman dari dalam ancaman dari luar pun cukup rawan, yaitu dari Kaisar Romawi, Hiraclius, yang menguasai Syiria dan Palestina, dan Kisra Kerajaan Persia yang menguasai Irak. Dua kerajaan besar ini selalu bersekongkol dengan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam.
Sebagaimana telah disinggung, bahwa kedudukan Nabi yang digantikan oleh Abu Bakar sebagai khalifah[14] adalah kepemimpinan temporal beliau. Maka, sebagaimana Nabi, Abu Bakar sebagai selalu melaksanakan musyawarah dengan para sahabat dan tokoh-tokoh Madinah sebelum ia mengambil keputusan mengenai sesuatu, yang berfungsi sebagai lembaga legislatif pemerintahannya. Masalah pertama yang dibicarakan oleh Abu Bakar bersama para pemuka sahabat, adalah masalah  tentara yang berkekuatan 700 orang di bawah  pimpinan Usamah bin Zaid. Pasukan dipersiapkan oleh  Nabi di akhir hayatnya  untuk dikirim ke Syiria menghadapai tentara Romawi. Keberangkatan tentara ini tertunda karena wafatnya Nabi. Para pemuka sahabat manyampaikan usul kepada khalifah Abu Bakar agar pasukan tersebut ditangguhkan pengirimannya. Keberadaan mereka untuk mendampingi umat Islam di Madinah sangat dibutuhkan mengingat munculnya kelompok-kelompok muslim yang memberontak. Usul kedua datang pula dari sebagian umat Islam melalui ’Umar bin Khattab agar pimpinan pasukan diganti dengan orang yang lebih tua dari ’Usamah. Kedua usul ini ditolak oleh Abu Bakar dengan mengatakan: ”Kamu menyuruh membatalkan apa yang telah dilakukan oleh Rasullah ?”[15] Artinya Abu Bakar tidak menunda ekspedisi pasukan tersebut dan panglima pasukan tetap dipegang oleh ’Usamah bin Zaid. Para sahabat pun akhirnya dapat memahami keputusan itu. Pasukan itu diberi waktu selama 40 hari untuk melaksanakan tugasnya dan kembali ke Madinah. Ternyata pasukan tersebut dapat menyelesaikan tugasnya tepat waktu dan memperoleh kemenangan.
Sebelum pasukan diberangkatkan, Abu Bakar menyampaikan nasehat atau kode etik militer di medan peperangan, sebagai berikut :

”1) Jangan melakukan pengkhianatan, 2) Jangan melakukan pelanggaran, 3) Jangan ingkar kepada atasan, 4) Jangan melampaui batas, 5) Jangan membunuh orang tua, para wanita dan anak-anak, 6) Jangan menebang pohon dan membakarnya, jangan menebang pohon yang berbuah, 7) Jangan membunuh hewan kecuali untuk dimakan. 8) Hendaklah kamu biarkan kaum yang berada di gereja-gereja dan menghormati para pendeta mereka. 9) Ingatlah Allah atas karunia-Nya kepada kamu. 10) Bertempiurlah dengan pedang. Wahai ’Usamah, 11) lakukanlah apa yang telah diperintahkan Nabi dan jangan mengurangi perintahnya.”[16]          

Selesai urusan itu, kemudian Abu Bakar menghadapi krisis yang lebih rawan, yaitu kelompok-kelompok yang  disebut di atas. Untuk inipun Abu Bakar mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menentukan sikap dan tindakan apa atas mereka. Dalam musyawarah itu, muncul dua pendapat yang berbeda Abu Bakar, yang dikenal berhati lemah lembut, berpendapat bahwa mereka semua tanpa kecuali termasuk mereka yang ingkar membayar zakat harus diperangi sebagaimana mereka yang murtad. Pendapat kedua menyatakan mereka harus diperangi kecuali mereka yang ingkar membayar zakat,  sebab mereka masih tetap beriman. Umar, yang dikenal berwatak keras berada di pihak pendapat kedua. Akhirnya Umar membenarkan pendapat Abu Bakar, dan para sahabatpun mendukung keputusannya, yaitu memerangi orang Islam yang murtad dan orang-orang Islam yang enggan membayar zakat.[17]
Dalam pelaksanakan keputusan tersebut, Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menunjuk pemimpin masing-masing pasukan tersebut. 1) Khalid bin Walid bertugas memerangi Tulaihah bin Khuwailid (seorang Nabi palsu) di Buzakhah, dan Malik bin Nuwairah (seorang kepala pemberontak) di Buthah. 2) Ikrimah bin Abi Jahl ditugaskan menumpas Musailamah al Kazzab (seorang Nabi palsu) di Yamamah. 3) Syurahbil bin Hasanah ditugaskan membantu Ikrimah dan ke Qudaah. 4) Al-Muhajir bin Abi Umayah memerangi al-Aswad al-Ansi (seorang Nabi palsu) si San’a, Yaman. 5) Khuzaifah bin Mihsan ditugaskan ke Oman. 6) Arfajah bin Hursimah ke Mahrah. 7) Suwaid bin Muqarrin ke Tihamah, Yaman. 8) Al-Ula bin al-Hadrami ke Bahrain. 9) Thuraifah bin Hajiz ke daerah Bani Salim dan Hawazin. 10) Amr bin al-’As ke Qudaah. 11) Khalid bin Said ke daerah-daerah Syam.[18]
Meskipun Abu Bakar telah mengambil keputusan untuk memerangi kaum pemberontak dan pembangkang[19] tersebut dan pasukan telah diberangkatkan, namun ia masih menunjukkan kearifan. Ia mengirim surat peringatan kepada mereka agar kembali ke jalan yang benar dan masuk kembali ke barisan Islam. Para pemimpin pasukan juga ia surati dengan pesan agar mereka tidak memerangi orang-orang yang mau tunduk kembali kepada Islam, kecuali mereka yang membangkang. Surat peringatan itu tidak digubris oleh kaum murtad, kaum pembangkang dan pemberontak. Karena itu serangan dilaksanakan sesuai dengan perintah khalifah, dan berakhir dengan sukses.[20] Mereka berhasil dilumpuhkan untuk selamanya di Zul Qassah. Nu’man bin Muqarim  pimpinan barisan kanan bersama beberapa orang ditempatkan di daerah itu untuk mengusir mereka yang bermaksud menyerang Abu Bakar tetapi mereka sudah dipatahkan.
Setelah kemenangannya di Zul-Qassah,  kaum Muslimin loyal dan cepat-cepat menunaikan zakat kepada Khalifah Abu Bakar. Yang mula-mula datang membayar zakat ialah Safwan dan Zabriqan, pemimpin-pemimpin Banu Tamim, Adi bin Hatim at-Ta’i atas nama kabilahnya Tayyi’. Orang menyambut kedatangan delegasi atas nama golongan masing-masing itu dengan penuh gembira.
Abu Bakar sangat arif  merespon perbedaan pendapat dalam menghadapi peperangan riddah dan pembangkang zakat ini, yaitu beliau mengadakan musyawarah, membagi mereka ke dalam beberapa pasukan, dan memberi nasehat tekait dengan kode etik berperang yang islami, sebelum berangkat ke medan pertempuran. Sosok Abu Bakar terlihat sebagai seorang pemimpin  yang arif, lemah lembut, tetapi tegas dalam mengambil keputusan. Hubungan atasan sebagai top manager dengan bawahan cukup sosiologis dan harmonis, walau kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat.

9.      Proses Pengumpulan Al-Quran
Berbicara tentang pengumpulan Al-Qur’an[21] kita perlu melihat kembali ke belakang, kepada peristiwa  Yamamah[22]. Akibat peristiwa itulah maka mulai timbul gagasan untuk mengumpulkan Al-Qur’an yang kemudian dilaksanakan. Pelaksanaan ini memakan waktu sampai berakhirnya masa kekhalifahan Abu Bakar sesudah perang Yamamah. Sumber lain menyebutkan memakan waktu  sampai masa Umar. Pengumpulan Al-Qur’an dilakukan dengan banyak proses dan banyak opini tentang bagaimana proses pengumpulan dan penggabungan Al-Qur’an. Usman bin ’Affan  menginginkan Al-Quran  dibaca orang banyak  dengan satu macam bacaan.  Dalam proses pengumpulan Al-Qur’an banyak perdebatan yang terjadi.
Pada masa Abu Bakar sudah selesai tugas Zaid mengumpulkan Al-Qur’an  ataukah terus berlangsung  beberapa waktu lagi  sampai masa umar, masih ada perbedaan pendapat. Dengan bersumber pada Bukhari,  kita melihat  bahwa lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dikumpulkan oleh Zaid  itu ada pada Abu Bakar  sampai Abu Bakar wafat, kemudian pindah tangan pada Umar sampai Umar pun wafat, kemudian di tangan Hafsah putri Umar, ummul mukminin. Keterangan ini menunjukkan  bahwa pengumpulan itu sudah selesai pada masa Abu Bakar. Beberapa narasumber berpendapat  pekerjaan itu berlangsung beberapa waktu sampai masa Umar. Memang tidak mudah untuk memutuskan  mana dari kedua sumber itu  yang lebih sahih, kendati keduanya  itu dapat dipadukan  bahwa sebagian besar pengumpulan itu diselesaikan oleh Zaid pada masa Abu Bakar dan lembaran-lembaran yang sudah selesai itu berada pada khalifah Abu Bakar, dan setelah itu Abu Bakar wafat diambil oleh Umar, dan setelah Zaid telah selesai mengumpulkan sisanya, lembaran-lembaran itu ditambahkan ke dalam lembaran-lembaran pertama.
Sepeninggal Nabi saw, Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf tetapi masih berbentuk lembaran-lembaran yang terpisah. Sementara itu beberapa kali terjadi kegoncangan dalam pemerintahan khalifah Abu Bakar. Dalam suatu peperangan dengan penduduk Yamamah yang murtad, sekitar 500 sahabat meninggal, dan 70 di antaranya dari huffazh Al-Qur’an.
Timbul kekhawatiran Umar dengan meninggalnya para huffazh itu akan mengakibatkan hilangnya warisan Al-Qur’an. Umar segera bertindak dengan mendatangi Abu Bakar dan mengusulkan agar mulai dirintis pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mashaf. Maka terjadilah dialog antara Abu Bakar, Umar dan Zaid bin Sabit, sebagai berikut :
”Abu Bakar! Peperangan dengan penduduk Yamamah masih terus berlangsung dan beberapa orang yang hafal Al-Qur’an meninggal. Saya khawatir peperangan akan banyak meminta korban dari para huffazh. Ini membahayakan Al-Qur’an, menurut pendapat saya, sebaiknya anda menyuruh para penulis wahyu untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf,” usul Umar di hadapan Abu Bakar.
”Bagaimana kamu mengusulkan sesuatu yang tidak pernah dilakukan rasulullah?” tanya Abu Bakar.
”Demi Allah, itulah yang terbaik,” jawab Umar.
Abu Bakar masih ragu dengan pendapat Umar, tetapi Umar terus mendesak dengan alasan demi kemaslahatan orang-orang Islam. Akhirnya Allah membuka hati Abu Bakar dan beliau pergi menemui Zaid bin Sabit.
”Umar datang kepada saya dan mengusulkan agar Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mashaf. Sebagai penulis wahyu di zaman rasulullah, kami mempercayai untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Demi Allah, jika semua perang membebani saya untuk memindahkan gunung itu tidak seberapa beratnya ketimbang mereka menyuruh saya mengumpulkan Al-Qur’an ini,” kata Abu Bakar.
”Lalu, bagaimana anda akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?” tanya Zaid.
”Demi Allah,  saya juga melihat itulah yang terbaik.”[23]
Allah membuka hati Zaid, sebagaimana telah melapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Dari kisah tadi kita tahu bahwa yang dilakukan Abu Bakar bukan menulis Al-Qur’an karena Al-Qur’an telah ditulis pada zaman Nabi tetapi mengumpulkannya ke dalam satu mushaf, setelah sebelumnya tertulis dalam lembaran-lembaran daun, kulit dan tulang yang terpisah.[24]
 Zaid bin Sabit menjelaskan bahwa : ”Aku  mulai melacak dan mengumpulkan al-Quran dari lempengan-lempengan, tulang-tulang bahu, kepingan-kepingan pelepah pohon kurma. Setelah lembaran-lembaran itu kucatat ke dalam beberapa jilid. Setelah terhimpun dan tersusun al-Qur’an itu dengan baik, maka disimpan di tempat Abu Bakar, kemudian di tempat Umar dan di tempat Hafsah Ummul mukminin.[25]
Keterpaduan antara Abu Bakar, Umar dan zaid bin Sabit -sebagai otaknya- dan ditambah kerja-sama yang baik  dengan sahabat-sahabat lainnya, sampai al-Quran berhasil  dikumpulkan dalam satu jilid. Keterpaduan dan kerja-sama  ini, sangat sosiologis sekali.

D. Metode Istinbath Hukum
Dalam memberlakukan istinbath hukum, Abu Bakar menggunakan metode yang bervariasi, antara lain :
  1. Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an.
  2. Apabila tidak menemukannya dalam Al-Qur’an, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.
  3. Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah Rasul Allah Saw. telah memutuskan persoalan yang sama pada ketika Nabi masih hidup. Jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
  4. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.[26] Kadang-kadang beliau memberlakukan maslahah demi kesejahteraan umat Islam.

E. Kesimpulan
Abu Bakar adalah khalifah pertama dari khulafa’ al-Rasidyin, seorang sahabat  Nabi yang sangat dekat-sehingga beliau siberi gelar oleh Nabi dengan al-Shiddiq- dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam (assâbiqûn al-awawalûn). Abu Bakar seorang pemimpin yang demokratis mempunyai ide-ide brilian (ijtihad), sehingga keberadaan umat Islam tetap legitimate dan proporsional pasca Rasulullah Saw. wafat, terutama dalam menghadapi masalah-masalah sosial. Beliau telah berhasil menumpas dan meluluhkan-lantakkan kaum murtaddin yang ingin merongrong sendi-sendi dan pranata keislaman, menumpas golongan anti zakat, mendirikan lembaga Keuangan, lembaga Peradilan, berijtihad dalam pengumpulan al-Qur’an, merespon masalah warisan, hasil harta rampasan, membantu budak-budak Islam yang ingin merdeka, suksesi dan dan menetapkan calon khalifah (Umar ibn Khattab) sebelum beliau wafat yang akan menggantikan beliau pada perose selanjutnya, dan mengakomodir pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Dalam menganalisis ijtihadnya di berbagai perspektif, beliau berdasar pada Al-Quran, Sunnah, Ijma’, Maslahah, Sadd al-Zari’ah. membawa pada ker
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya,  semarang : Toha Putra, 1989

Abd al-Wahid al-Najjar, Al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyat, 1990

Abidin, Zainal dan Agus Ahmad Syafe’i, Sosiophologi: Sosiologi Islam Berbasis Hikmah,  Bandung: Pustaka Setia, 2002

Al-Bukhari, Matan Masykul al-Bukhari, Juz IV, Semarang, an-Nur Asiya, t.th.

Ahmad Al Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta :  Akbar Media Eka Sarana, 2004

A. Sirry, Mun’im,  Sejarah Fiqih Islam, Surabaya : Risalah Gusti, 1995

Dewan Redaksi,  Ensiklopedi Islam I, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001

Evan, Willeam M. (editor), The Sosiology of Law A social-Structural Perspective, New York : A Division of Macmillan Publishing Co., Inc, 1980

Hisyam, Ibnu, Sîrah Ibnu Hisyâm IV, Mesir : Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1937

Ibnu Hajar, Fath al-Bârî,  Jilid IX

K. Ali, A Study of Islamic History, Delhi  India  : Idarah Adabiyah, 1980

Khudhari Bek, Itmâm al-Wafâ’ fî Sîrat al-Khulafâ’,   Dar al-Fikri, t.th.

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian I dan II, Edisi Terjemahan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000

Moh. Saifulloh Al Aziz, Keteladanan Negarawan Dari Empat Sahabat Rasulullah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, Surabaya : Terbit Terang, 2000

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000

Muhammad Husein Haikal, Abu Bakar As-Siddiq Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi,  Edisi Terjemahan, Jakarta : PT Pustaka Litera AntarNusa, 2006

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985

Shahih Muslim, Juz I

Shobirin, Ijtihad Khulafa’ al-Rasyidin, Semarang: Rasail, 2008

Suyuthi, Jalal al-Din al,  Al-Itqân fî ’Ulum al-Qur’an, Jilid I, Kairo : Musthafa al-Halabi, t.t.

Sunan Abi Dawud, Juz III

Syarifuddin, Amir,  Ushul Fiqh, Jilid 2, Edisi Pertama, Cet. Keempat, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2008

Sya’rani, Abd al-Wahab al, Al-Thabaqât al-Kubrâ al-Musammât bi Lawâqih al-Anwâr fî Thabaqât al-Akhyâr,  Kairo : Dar al-Fikri, 1374 H/1954

Yatim,  Badri,  Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006




[1]Abd al-Wahab al-Sya’rani, Al-Thabaqât al-Kubrâ al-Musammât bi Lawâqih al-Anwâr fî Thabaqât al-Akhyâr,  Kairo : Dar al-Fikri, 1374 H/1954, hlm. 17-18. Bandingkan dengan : Dewan Redaksi,  Ensikloped Islam I, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve 2001, hal. 37
[2]Ahmad Al Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta :  Akbar Media Eka Sarana, 2004, hlm. 142
[3]Muhammad Husein Haikal, Abu Bakar As-Siddiq Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, Edisi Terjemahan, Jakarta : PT Pustaka Litera AntarNusa, 2006, hlm.3
[4]Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm IV, Mesir : Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1937, hlm. 340-341
[5]Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya,  semarang : Toha Putra, 1989
[6]Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 44- 45. Lihat pula : Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Surabaya : Risalah Gusti, 1995, hlm. 37
[7]Dewan Redaksi, op.cit., hal. 40-41
[8]Ibid
[9]Menurut Bohannan, sosiologi hukum dapat diperluas dalam dua bentuk, yaitu  adat kebiasaan yang telah melembaga dan yang belum melembaga dalam masyarakat. Lihat : Willeam M. Evan (editor), The Sosiology of Law A social-Structural Perspective, New York : A Division of Macmillan Publishing Co., Inc, 1980, hlm. 2
[10]Ijtihad Abu Bakar memerangi orang Islam yang tidak mau membayar zakat adalah sesuai dengan pertimbangan kemaslahatan bagi kesejahteraan umat Islam yang fakir dan miskin, disamping itu ada upaya sad al-zari’ah (mencegah kerusakan) yaitu orang Islam akan meninggalkan ajaran agama. Wajib hukumnya melaksanakan sadd al-zari’ah apabila tidak dihindarkan pasti membawa pada kerusakan. Lihat dalam: Shobirin, Ijtihad Khulafa’ al-Rasyidin. Semarang: Rasail, 2008, hlm 234. Bandingkan pula dengan : Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta : Sinar Grafika,  1995), hlm. 167. Bandingkan lagi : Amir Syarifuddin,  Ushul Fiqh, Jilid 2, Edisi Pertama, Cet. Keempat, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2008), hlm. 402
[11]Al-Bukhari, Matan Masykul al-Bukhari, Juz IV, Semarang, an-Nur Asiya, t.th., 257. Lihat juga :  Shahih Muslim, Juz I, hlm. 93 dan Sunan Abi Dawud, Juz III, hlm. 60.
[12]Al-Bukhari, Ibid.
[13]K. Ali, A Study of Islamic History, Delhi  India  : Idarah Adabiyah, 1980, hal 82 
[14]Karakter atau keahlian yang harus dimiliki seorang pemimpin yang hebat, menurut Jefferson antara lain:
a.   Memiliki keterampilan perspektif. Maksudnya, dengan kecerdasan yang dimilikinya, seorang pemimpin yang hebat mampu melihat segala sesuatu dari sudut yang tidak pernah dipikirkan orang banyak. Ia mampu melihat berbagai persoalan dari sudut pandang yang cerdas dan memikat sekalipun persoalan yang dilihatnya sama dengan yang dilihat banyak orang.
b.   Memiliki kemampuan dalam memaksimalkan potensi yang ada. Kalau menggunakan bahasa fisika adalah memiliki kesanggupan mengubah energi potensial menjadi energi kinetik. Seorang pemimpin yang hebat adalah seorang yang mampu menyinergikan berbagai kekuatan yang dimiliki oleh umat; mengubah potensi menjadi aksi yang memiliki kemaslahatan sosial yang lebih besar. Dalam bahasa sederhana, bisa dikatakan, seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang memiliki keterampilan manajerial yang canggih
c.   Memiliki kesanggupan dan meaknai simbol-simbol. Abad ini adalah abad simbol atau abad imagologi dalam terminologi Milan Kundera. Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang mampu memaknai dan menerjemahkan simbol-simbol, tetapi tidak berhenti pada simbol-simbol itu sendiri. Misalnya, seorang pemimpin yang baik tidak melulu melihat mesjid sebagai simbol pusat peradaban manusia. Karena itu, perbedaan memaknai simbol ini berakibat pada perbedaan
d.   Memahami dan mengapresiasi berbagai kecerdasan. Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang sangat memahami adanya dinamika kecerdasan yang dimiliki oleh manusia dan berusaha memfasilitasi dan mengembangkannya. Dengan menyinergikan berbagai kecerdasan tadi, banyak manfaat yang bisa diterima dan dirasakan oleh masyarakat.
e.   Apresiatif terhadap berbagai keunggulan baru. Seorang pemimpin yang cerdas adalah seorang yang sangat terbuka dan gembira dalam menerima setiap keunggulan yang datang dari manapun. Dengan keterbukaan yang dimilikinya, ia akan mengapresiasi dan merebut keunggulan yang dimiliki oleh atau pihak lain -tidak peduli siapa- untuk kemudian ia terapkan demi kemaslahatan masyarakat yang dipimpinnnya. Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang membekali dirinya  dengan berbagai bekal, metodologi, pendekatan, strategi, dan paradigma, serta berbagai alat analisis berbagai problem umat, baik yang lama atau  terutama yang baru. Lihat : Zainal Abidin dan Agus Ahmad Syafe’i, Sosiophologi: Sosiologi Islam Berbasis Hikmah,  Bandung: Pustaka Setia, 2002, hlm. 83-85
[15]Abd al-Wahid al-Najjar, al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyat,1990, hlm.39-40
[16]Khudhari Bek, Itmâm al-Wafâ’ fî Sîrat al-Khulafâ’,   Dar al-Fikri, t.th, hlm 23
[17]Ibid, hlm. 24-25
[18]Abd al-Wahid al-Najjar, op. cit., hlm. 44-45
[19]Kelompok pemberontak dan pembangkang  ini timbul, karena mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi dengan sendirinya batal, setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Sikap keras kepala dan penentangan mereka ini membahayakan bahkan bisa melumpuhkan kekuatan agama dan pemerintahan. Khalifah Abu Bakar menyelesaikan perang riddah ini, yang notabene-nya jasa Khalid ibn Walid  sangat banyak dalam peperangan ini. Lihat : Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 36. Bandingkan dengan : Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 56-57
[20]Abu Bakar mengerahkan pasukan untuk menghancurkan suku-suku pembangkang,  memaksa mereka menyerah dan berusaha memperluas wilayah kekuasaan Islam pada beberapa  wilayah yang sudah pernah diusahakan pada masa Nabi masih hidup. Lihat: Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian I dan II, Edisi Terjemahan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000 hlm 57
[21]Jasa besar  yang  dilakukan oleh Abu Bakar adalah usahanya untuk mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf, walaupun ini dilakukannya atas usulan dari Umar bin Khatab. Usulan ini didasarkan atas pertimbangan :
1.       Banyak sahabat penghapal al-Qur’an yang gugur sebagai syuhada di medan perang.
2.       Ayat-ayat yang ditulis pada daun, kulit kayu, tulang dan lain sebaginya dikhawatirkan mudah rusak  dan hilang. Usul tersebut diterima baik oleh Abu Bakar, kemudian diperintahkan Zaid bin Sabit untuk mengumpulkannya dalam satu mushaf. Setelah selesai barulah diserahkan kepada khalifah Abu Bakar  dan dismpan oleh beliau. Setelah beliau wafat, mushaf tersebut disimpan oleh Umar bin Khatab. Sepeninggal Umar bin Khattab, mushaf itu disimpan oleh Hafsah binti Umar. Lengkap dapat dilihat : Moh. Saifulloh Al Aziz, Keteladanan Negarawan Dari Empat Sahabat Rasulullah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, Surabaya : Terbit Terang, 2000
[22]Perang ini terjadi pada tahun 11 H/632 M). Peperangan ini terjadi  dipicu oleh Musailamah al-Kazzab yang mengaku dirinya sebagai nabi palsu. Peperangan ini dimenangkan oleh kaum muslimin dan Musailamah terbunuh, akhirnya penduduk itu bertobat dan kembali kepada Islam. 
[23]Kisah ini diriwayatkan  oleh al-Bukhari. Lihat Ibnu Hajar, Fath al-Bârî,  Jilid IX, hlm. 10
[24].Muhammad Husain Haekal, op. cit., 316-318. Mun’im A. Sirry, Op.cit., hlm. 35-36
[25]Ada sebuah sumber menyebutakan bahwa Umar ibn Khattablah yang pertama menghimpun al-Qur’an dalam satu jilid. Lihat :  Jalal al-Din al-Suyuthi,  Al-Itqân fî ’Ulum al-Qur’an, Jilid I, Kairo : Musthafa al-Halabi, t.t., 59
[26]Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 39