PENGARUH FAKTOR-FAKTOR SOSIAL TERHADAP
IJTIHAD ABU BAKAR AL-SHIDDIQ
Oleh: Ali Hamzah
A. Pendahuluan
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari ker idhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.s. 29: 69)
Ayat ini menjelaskan pentingnya eksistensi ijtihad untuk mencari hukum-hukum dari al-Quran dan Sunnah. Dalam mempelajari metode ijtihad Khulafâ’ al-Râsyidin, semasa hidup Nabi Saw. belum ada masalah yang melibatkan mereka secara intens dalam perumusan hukum. Pasca Nabi wafat yang berarti putusnya wahyu ilahi, mereka mulai mengerahkan daya upaya untuk mengupas hukum dari al-Quran ataupun dari praktek Nabi Saw. sendiri. Dalam kasus pemilihan Abu Bakar misalnya mereka mulai menggunakan teori qiyas. Disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah meminta Abu Bakar untuk menjadi Imam shalat. Logikanya, jika dalam masalah kepemimpinan agama saja, Nabi mempercayakan pada Abu Bakar, maka dalam urusan-urusan qiyâdah dunyawiyah (kepemimpinan duniawi) seharusnya lebih utama. Lebih dari itu para sahabat melihat adanya persamaan ’illat antara dua kasus tadi yang kemudian melahirkan keputusan pengangkatan Abu Bakar.
Kasus kepemimpinan Abu Bakar tidak saja mengisyaratkan teori qiyas, tetapi memberikan suatu kaidah lain berupa ijma’ . Sebab proses pemilihan beliau itu berdasarkan keputusan (ijma’) semua sahabat pada saat itu. Selama kepemimpinan beliau lebih kurang 2 tahun tiga bulan, banyak kasus-kasus keagamaan dan siyasiyah yang ditemukan beliau yang sifatnya merusak program-program ke depan khalifah Abu Bakar. Namun berkat kebersamaan antara khalifah Abu Bakar dengan Umar ibn al-Khattab, Usman ibn ’Affan, Ali ibn Abi Thalib dan sahabat-sahabat lainnya yang didasari ijtihad brilian (mandiri dan kolektif), sehingga kepemimpinan Abu Bakar bisa berjalan dengan baik.
Makalah singkat ini akan menyoroti masalah-masalah ijtihad Abu Bakar yang mengandung nuansa hukum yang bersifat obyektif-sosiologis, baik sebelum beliau diangkat menjadi khalifah maupun selama beliau menjadi khalifah.
B. Biografi Abu Bakar (573-22 Jumadil akhir - 13 H/23 Agustus 634)
Abu Bakar adalah khalifah pertama dari khulafa’ ar-Rasyidin, sahabat Nabi yang terdekat, dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam (assâbiqûn al-awawalûn). Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah at-Tamimi. Setelah masuk Islam, Nabi SAW menukar namanya menjadi Abdullah. Gelar Abu Bakar diberikan Rasul, karena ia orang yang paling cepat masuk Islam, sedangkan gelar as-siddiq yang berarti ’amat membenarkan’ adalah gelar yang diberikan kepadanya karena ia amat segera membenarkan Rasulullah SAW dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra’ Mikraj.
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Abi Kuhafah Usman bin Amir bin ’Amr bin Ka’ab bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ayy bin Ghalib al-Qursyi al-Taimi. Ibunya bernama Ummu Khair Salma binti Sakhr yang berasal dari keturunan Kuraisy. Garis keturunannya bertemu dengan Nabi pada Murrah ibn Ka’ab. Dia memiliki sifat-sifat terpuji yaitu baik, takwa, jujur, tidak khianat, dan lemah lembut dan lain-lain. Sifat-sifat yang mulia itu membuat ia disenangi dalam masyarakat. Ia menjadi sahabat Nabi SAW sejak keduanya masih remaja. Setelah remaja dia mencari nafkah dengan jalan berdagang. Disamping pedagang ia dikenal amat jujur, berhati suci, dan sangat dermawan.
Abu Bakar dikenal mahir dalam ilmu nasab (pengetahuan mengenai silsilah keturunan). Ia menguasai dengan baik berbagai nasab kabilah dan suku-suku Arab, bahkan juga dapat mengetahui ketinggian dan kerendahan derajat masing-masing dalam bangsa Arab, terlebih lagi suku-suku Arab Kuraisy.
Abu Bakar mendapat hidayah Allah masuk agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Setelah resmi memeluk agama Islam, kekayaan itu kemudian diserahkan untuk kepentingan agama Islam, terutama untuk kegiatan penyiaran dan dakwah Islam. Abu Bakar pun juga giat berdakwah mengajak masyarakat Kuraisy untuk memeluk agama Islam. Implikasi dakwahnya ini, banyak sekali orang-orang Kuraisy yang menerima hidayah Allah hingga dengan kesadarannya sendiri memeluk agama Islam. Bahkan banyak sekali tokoh terkemuka dari suku Kuraisy yang masuk Islam berkat ajakan Abu Bakar, diantaranya Utsman Bin Affan, Zubair Bin Awam, Abdurahman bin ’Auf, Abdullah Bin Mas’ud dan sebagainya. Mereka semua disebut sebagai As Sâbiqûn al-Awwalûn yang artinya kaum yang pertama masuk Islam.
Pada awal tahun kenabian, Abu Bakar adalah orang yang pertama yang mengakui kenabian Muhammad Saw dari kaum laki-laki. Ia sering sekali menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan memang layak untuk ditolong. Bahkan banyak sekali budak-budak yang dimerdekakannya dengan membeli dari tuannya sebagai tembusan, diantaranya adalah Bilal Bin Rabah, budak dari Umayyah, Amir Fuhairah budak dari Thufail bin Abdullah dan masih banyak lagi budak-budak yang dimerdekakannya. Abu Bakar juga mengharamkan minuman keras untuk dirinya pada masa Jahiliah. Bahkan dia tidak pernah menyembah dan bersujud pada berhala apapun. Diapun dianggap sebagai orang kedua dalam Islam setelah Rasulullah. Semasa kecil Abu Bakar hidup seperti umumya anak-anak di Mekkah. Di masa remaja ia bekerja sebagai pedagang kain. Usahanya ini sampai mendapatkan kesuksesan. Dalam usia muda ia kawin dengan Qutailah ibn Abdul Uzza. Dari perkawinan ini lahir Abdullah dan Asma’. Kemudian ia kawin lagi Umm Rauman binti Amir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abdurrahman dan Aisyah. Di Madinah ia kawin lagi dengan Habibah binti Kharijah, setelah itu ia kawin lagi Asma’ bin’Uwaimis yang melahirkan Muhammad. Sementara itu usahanya maju dengan pesat dan mendapatkan keuntungan yang luar biasa. Abu Bakar menjabat kursi kekhalifahan lebih dari dua tahun (11-13 H/632-634 M). Setelah dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan pidato inaugurasi, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat Islam pasca Nabi wafat. Inilah sebagian kutipan pidatonya :
”Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat melaksanakan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedang orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Mak hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan rasul-Nya, kamu tidak perlu mentaatiku.”
Abu Bakar wafat pada tahun 634 di Madinah.
C. Ijtihad Abu Bakar dalam Bidang Hukum Islam
1. Berkenaan dengan harta peninggalan Nabi Muhammad Saw.
Sebelum Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, beliau berijtihad berkenaan dengan harta peninggalan Nabi Muhammad Saw. Dalam al-Quran dikatakan bahwa ahli waris dapat menerima harta pusaka apabila muwarits meninggalkan harta, sebagaimana firman Allah dalam surat a-Nisa (4) ayat 11 yang artinya :
Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ketika Nabi Muhammad wafat yang menjadi ahli waris adalah Fatimah. Abu Bakar meriwayatkan salah satu dari hadis Nabi Saw :
نَحْنُ مَعَاشَرَ الْاَنْبِيَاءِ لَا نُوْرِثُ, مَاتَرَكْنَاهُ صَدَقَةٌ
Kami para sekalian para nabi tidak mewariskan harta, harta yang kami tinggalkan adalah shadaqah
Berdasarkan riwayat itu, Abu bakar berijtihad bahwa surat al-Nisa (4) ayat 11 di-takhshish oleh hadis tersebut. Karena itu, Fatimah tidak dapat menerima pusaka dari Nabi, karena harta yang ditinggalkan Nabi statusnya adalah shadaqah.
2. Berkenaan dengan seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar tentang kadar bagian yang dapat diterimanya dalam salah satu pembagian harta pusaka. Abu Bakar tidak menemukan ketentuannya dalam al-Qur’an kemudian ia bertanya kepada sahabat. Salah seorang sahabat bernama al-Mughirah ibn Syu’bah mengatakan bahwa Nabi pernah bersabda ” Berilah seorang nenek seperenam dari harta warisan. Riwayat al-Mughirah ibn Syu’bah ini dikuatkan oleh Muhammad ibn Musalamah. Dan itulah yang menjadi keputusan Abu Bakar. 3. Abu Bakar memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Ia sangat perhatian terhadap kaum lemah terutama para budak Islam. Sejumlah budak yang disiksa oleh tuannya karena karena mereka memeluk Islam ditebus oleh Abu Bakar kemudian dimerdekakan. Antara lain adalah Bila ibn Rabah. Kasus terjadi sebelum beliau diangkat menjadi khalifah. Bahkan beliau rela berkorban untuk kepetingan agama Islam secara luas. Kedekatan Abu Bakar dengan dengan kaum yang lemah ini menunjukkan telah terjalinnya hubungan sosiologis dan psikolgis di antara mereka.
4. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat sekaligus tanggung jawab sosial, Abu Bakar membentuk Lembaga Keuangan yang disebut Bait al-Mâl dimana pengelolaannya diamanahkan kepada Abu ’Ubaidah, sahabat Nabi yang diberi gelar amîn al-ummah (kepercayaan umat).
5. Abu Bakar juga berijtihad mendirikan Lembaga Peradilan yang ketuanya diserahkan kepada Umar ibn Khattab. Ini sebagai penghargaan yang sangat penting, buat Umar ibn Khattab yang sangat brilian (mujtahid), bersifat tegas dan berani mengambil keputusan hukum, demi kemaslahatan negara Islam.
6. Abu Bakar membuat kebijakan membagi sama rata hasil rampasan perang (ganîmah), dengan alasan bahwa semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam akan mendapat balasan pahala dari Allah Swt. di akhirat. Karena itu biarlah mereka di dunia mendapat bagian yang sama. Sebaliknya Umar ibn Khattab menginginkan dilakukan berdasarkan kinerja dan loyalitas masing-masing sahabat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat antara Abu Bakar dan Umar, namun mereka tetap menjalin hubungan yang baik dalam segala lini yang menyangkut dengan pemerintahan dan agama. 7. Menetapkan calon khalifah yang akan menggantikannya setelah beliau wafat. Dia telah menyeleksi secara obyektif ditinjau dari berbagai segi serta amanah dalam mengemban tugas kekhalifahannya, yaitu Umar ibn khattab, dimana sebelumnya telah dibawa ke forum dan dimusyawarahkan. Setelah disepakati barulah diumumkannya secara resmi. Di sini terlihat ijtihad Abu Bakar yang sangat bersifat sosiologis, beliau menganggap tidak etis mendahului keputusan publik, dan inilah makna sistem pemerintahan yang demokratis.
8. Memberantas gerakan riddah dan Pembangkang Zakat. Setelah Abu Bakar memangku jabatan Khalifah, muncullah kelompok yang antipati dan mengadakan permusuhan terhadap orang-orang yang masih komit keislamannya. Sebagian mereka ada yang membangkang membayar zakat, dan ada juga gerakan riddah. Mereka sangat membenci Abu Bakar. Abu Bakar berijitihad, kasus ini perlu cepat diatasi, karena sejak dibebaskannya Mekkah dan masuknya Ta’if ke dalam Islam belum pernah terjadi hal seperti itu. Keengganan membayar itu, baik karena kikir dan kelihaian mereka seperti kelihaiannya dalam mencari dan menyimpan uang, dan pergi kian kemari sampai mengorbankan hidupnya demi memperolehnya, atau karena anggapan bahwa pembayaran itu sebagai upeti yang sudah tidak berlaku lagi sesudah Rasulullah wafat, dan boleh dibayarkan kepada siapa saja yang mereka pilih sendiri sebagai pemimpinnya di Medinah. Mereka mogok tak mau membayar zakat dengan menyatakan bahwa dalam hal ini mereka tidak tunduk kepada Abu Bakar. Masalah ini berpangkal dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’id dari Lais Uqail dari Zuhri dari Ubaidillah bin Abdullah Ibn ’Utbah dari Abi Hurairah. Ia berkata: Setelah Nabi Muhammad meninggal terjadi pembangkangan membayar zakat, Abu Bakar memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. ’Umar bin Khaththab menegurnya dengan berkata :
”Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda: Saya pernah disuruh Rasulullah memerangi orang-orang sampai mereka mengucapkan kalimah ”la ilaha illa Allah”. Barang siapa sudah mengucapkan kalimah”la ilaha illa Allah” maka Allah menjaga harta dan darahnya, kecuali dengan ”hak”nya. Semua urusannya ditangan Allah” (H.R Bukhari Muslim)
Atas dasar hadis nabi yang dipakai oleh ’Umar bin Khattab untuk menegur Abu Bakar, ia menjawab teguran ’Umar: ”Demi Allah, sesungguhnya saya akan memerangi siapa saja yang membedakan salat dengan zakat. Sebab zakat termasuk ”hak”nya atas harta”. Abu Bakar bertekad akan melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang telah diletakkan oleh pendahulunya; Nabi Muhammad SAW. yaitu melaksanakan syari’at Islam, melaksanakan musyawarah, menjamin hak-hak umat secara adil, memelihara ketaatan rakyat kepada pemerintah secara limitatif selama pemerintah ta’at kepada Allah dan Rasul, melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar serta mendorong terwujudnya kehidupan taqwa. Pada tahun pertama jabatan Abu Bakar, kepemimpinannya langsung diuji, yaitu menghadapi ancaman yang timbul dari kalangan umat Islam sendiri. Ancaman ini dapat menghancurkan bangunan struktur Islam dan tatanan kehidupan umat Islam yang dibangun oleh Nabi dengan susah payah. Karena tidak lama setelah Nabi wafat dan Abu Bakar terpilih jadi khalifah, muncul kelompok-kelompok umat Islam di berbagai daerah menentang kepemimpinannya. Yaitu mereka yang murtad dari agama Islam dan kembali kepada agama mereka semula, mereka yang ingkar membayar zakat, orang-orang yang mengaku nabi dan pengikutnya, dan beberapa kabilah yang memberontak. Di samping ancaman dari dalam ancaman dari luar pun cukup rawan, yaitu dari Kaisar Romawi, Hiraclius, yang menguasai Syiria dan Palestina, dan Kisra Kerajaan Persia yang menguasai Irak. Dua kerajaan besar ini selalu bersekongkol dengan musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam. Sebagaimana telah disinggung, bahwa kedudukan Nabi yang digantikan oleh Abu Bakar sebagai khalifah adalah kepemimpinan temporal beliau. Maka, sebagaimana Nabi, Abu Bakar sebagai selalu melaksanakan musyawarah dengan para sahabat dan tokoh-tokoh Madinah sebelum ia mengambil keputusan mengenai sesuatu, yang berfungsi sebagai lembaga legislatif pemerintahannya. Masalah pertama yang dibicarakan oleh Abu Bakar bersama para pemuka sahabat, adalah masalah tentara yang berkekuatan 700 orang di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Pasukan dipersiapkan oleh Nabi di akhir hayatnya untuk dikirim ke Syiria menghadapai tentara Romawi. Keberangkatan tentara ini tertunda karena wafatnya Nabi. Para pemuka sahabat manyampaikan usul kepada khalifah Abu Bakar agar pasukan tersebut ditangguhkan pengirimannya. Keberadaan mereka untuk mendampingi umat Islam di Madinah sangat dibutuhkan mengingat munculnya kelompok-kelompok muslim yang memberontak. Usul kedua datang pula dari sebagian umat Islam melalui ’Umar bin Khattab agar pimpinan pasukan diganti dengan orang yang lebih tua dari ’Usamah. Kedua usul ini ditolak oleh Abu Bakar dengan mengatakan: ”Kamu menyuruh membatalkan apa yang telah dilakukan oleh Rasullah ?” Artinya Abu Bakar tidak menunda ekspedisi pasukan tersebut dan panglima pasukan tetap dipegang oleh ’Usamah bin Zaid. Para sahabat pun akhirnya dapat memahami keputusan itu. Pasukan itu diberi waktu selama 40 hari untuk melaksanakan tugasnya dan kembali ke Madinah. Ternyata pasukan tersebut dapat menyelesaikan tugasnya tepat waktu dan memperoleh kemenangan. Sebelum pasukan diberangkatkan, Abu Bakar menyampaikan nasehat atau kode etik militer di medan peperangan, sebagai berikut :
”1) Jangan melakukan pengkhianatan, 2) Jangan melakukan pelanggaran, 3) Jangan ingkar kepada atasan, 4) Jangan melampaui batas, 5) Jangan membunuh orang tua, para wanita dan anak-anak, 6) Jangan menebang pohon dan membakarnya, jangan menebang pohon yang berbuah, 7) Jangan membunuh hewan kecuali untuk dimakan. 8) Hendaklah kamu biarkan kaum yang berada di gereja-gereja dan menghormati para pendeta mereka. 9) Ingatlah Allah atas karunia-Nya kepada kamu. 10) Bertempiurlah dengan pedang. Wahai ’Usamah, 11) lakukanlah apa yang telah diperintahkan Nabi dan jangan mengurangi perintahnya.”
Selesai urusan itu, kemudian Abu Bakar menghadapi krisis yang lebih rawan, yaitu kelompok-kelompok yang disebut di atas. Untuk inipun Abu Bakar mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menentukan sikap dan tindakan apa atas mereka. Dalam musyawarah itu, muncul dua pendapat yang berbeda Abu Bakar, yang dikenal berhati lemah lembut, berpendapat bahwa mereka semua tanpa kecuali termasuk mereka yang ingkar membayar zakat harus diperangi sebagaimana mereka yang murtad. Pendapat kedua menyatakan mereka harus diperangi kecuali mereka yang ingkar membayar zakat, sebab mereka masih tetap beriman. Umar, yang dikenal berwatak keras berada di pihak pendapat kedua. Akhirnya Umar membenarkan pendapat Abu Bakar, dan para sahabatpun mendukung keputusannya, yaitu memerangi orang Islam yang murtad dan orang-orang Islam yang enggan membayar zakat. Dalam pelaksanakan keputusan tersebut, Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menunjuk pemimpin masing-masing pasukan tersebut. 1) Khalid bin Walid bertugas memerangi Tulaihah bin Khuwailid (seorang Nabi palsu) di Buzakhah, dan Malik bin Nuwairah (seorang kepala pemberontak) di Buthah. 2) Ikrimah bin Abi Jahl ditugaskan menumpas Musailamah al Kazzab (seorang Nabi palsu) di Yamamah. 3) Syurahbil bin Hasanah ditugaskan membantu Ikrimah dan ke Qudaah. 4) Al-Muhajir bin Abi Umayah memerangi al-Aswad al-Ansi (seorang Nabi palsu) si San’a, Yaman. 5) Khuzaifah bin Mihsan ditugaskan ke Oman. 6) Arfajah bin Hursimah ke Mahrah. 7) Suwaid bin Muqarrin ke Tihamah, Yaman. 8) Al-Ula bin al-Hadrami ke Bahrain. 9) Thuraifah bin Hajiz ke daerah Bani Salim dan Hawazin. 10) Amr bin al-’As ke Qudaah. 11) Khalid bin Said ke daerah-daerah Syam. Meskipun Abu Bakar telah mengambil keputusan untuk memerangi kaum pemberontak dan pembangkang tersebut dan pasukan telah diberangkatkan, namun ia masih menunjukkan kearifan. Ia mengirim surat peringatan kepada mereka agar kembali ke jalan yang benar dan masuk kembali ke barisan Islam. Para pemimpin pasukan juga ia surati dengan pesan agar mereka tidak memerangi orang-orang yang mau tunduk kembali kepada Islam, kecuali mereka yang membangkang. Surat peringatan itu tidak digubris oleh kaum murtad, kaum pembangkang dan pemberontak. Karena itu serangan dilaksanakan sesuai dengan perintah khalifah, dan berakhir dengan sukses. Mereka berhasil dilumpuhkan untuk selamanya di Zul Qassah. Nu’man bin Muqarim pimpinan barisan kanan bersama beberapa orang ditempatkan di daerah itu untuk mengusir mereka yang bermaksud menyerang Abu Bakar tetapi mereka sudah dipatahkan. Setelah kemenangannya di Zul-Qassah, kaum Muslimin loyal dan cepat-cepat menunaikan zakat kepada Khalifah Abu Bakar. Yang mula-mula datang membayar zakat ialah Safwan dan Zabriqan, pemimpin-pemimpin Banu Tamim, Adi bin Hatim at-Ta’i atas nama kabilahnya Tayyi’. Orang menyambut kedatangan delegasi atas nama golongan masing-masing itu dengan penuh gembira.
Abu Bakar sangat arif merespon perbedaan pendapat dalam menghadapi peperangan riddah dan pembangkang zakat ini, yaitu beliau mengadakan musyawarah, membagi mereka ke dalam beberapa pasukan, dan memberi nasehat tekait dengan kode etik berperang yang islami, sebelum berangkat ke medan pertempuran. Sosok Abu Bakar terlihat sebagai seorang pemimpin yang arif, lemah lembut, tetapi tegas dalam mengambil keputusan. Hubungan atasan sebagai top manager dengan bawahan cukup sosiologis dan harmonis, walau kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat.
9. Proses Pengumpulan Al-Quran
Berbicara tentang pengumpulan Al-Qur’an kita perlu melihat kembali ke belakang, kepada peristiwa Yamamah. Akibat peristiwa itulah maka mulai timbul gagasan untuk mengumpulkan Al-Qur’an yang kemudian dilaksanakan. Pelaksanaan ini memakan waktu sampai berakhirnya masa kekhalifahan Abu Bakar sesudah perang Yamamah. Sumber lain menyebutkan memakan waktu sampai masa Umar. Pengumpulan Al-Qur’an dilakukan dengan banyak proses dan banyak opini tentang bagaimana proses pengumpulan dan penggabungan Al-Qur’an. Usman bin ’Affan menginginkan Al-Quran dibaca orang banyak dengan satu macam bacaan. Dalam proses pengumpulan Al-Qur’an banyak perdebatan yang terjadi. Pada masa Abu Bakar sudah selesai tugas Zaid mengumpulkan Al-Qur’an ataukah terus berlangsung beberapa waktu lagi sampai masa umar, masih ada perbedaan pendapat. Dengan bersumber pada Bukhari, kita melihat bahwa lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dikumpulkan oleh Zaid itu ada pada Abu Bakar sampai Abu Bakar wafat, kemudian pindah tangan pada Umar sampai Umar pun wafat, kemudian di tangan Hafsah putri Umar, ummul mukminin. Keterangan ini menunjukkan bahwa pengumpulan itu sudah selesai pada masa Abu Bakar. Beberapa narasumber berpendapat pekerjaan itu berlangsung beberapa waktu sampai masa Umar. Memang tidak mudah untuk memutuskan mana dari kedua sumber itu yang lebih sahih, kendati keduanya itu dapat dipadukan bahwa sebagian besar pengumpulan itu diselesaikan oleh Zaid pada masa Abu Bakar dan lembaran-lembaran yang sudah selesai itu berada pada khalifah Abu Bakar, dan setelah itu Abu Bakar wafat diambil oleh Umar, dan setelah Zaid telah selesai mengumpulkan sisanya, lembaran-lembaran itu ditambahkan ke dalam lembaran-lembaran pertama.
Sepeninggal Nabi saw, Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf tetapi masih berbentuk lembaran-lembaran yang terpisah. Sementara itu beberapa kali terjadi kegoncangan dalam pemerintahan khalifah Abu Bakar. Dalam suatu peperangan dengan penduduk Yamamah yang murtad, sekitar 500 sahabat meninggal, dan 70 di antaranya dari huffazh Al-Qur’an.
Timbul kekhawatiran Umar dengan meninggalnya para huffazh itu akan mengakibatkan hilangnya warisan Al-Qur’an. Umar segera bertindak dengan mendatangi Abu Bakar dan mengusulkan agar mulai dirintis pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mashaf. Maka terjadilah dialog antara Abu Bakar, Umar dan Zaid bin Sabit, sebagai berikut :
”Abu Bakar! Peperangan dengan penduduk Yamamah masih terus berlangsung dan beberapa orang yang hafal Al-Qur’an meninggal. Saya khawatir peperangan akan banyak meminta korban dari para huffazh. Ini membahayakan Al-Qur’an, menurut pendapat saya, sebaiknya anda menyuruh para penulis wahyu untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf,” usul Umar di hadapan Abu Bakar.
”Bagaimana kamu mengusulkan sesuatu yang tidak pernah dilakukan rasulullah?” tanya Abu Bakar.
”Demi Allah, itulah yang terbaik,” jawab Umar.
Abu Bakar masih ragu dengan pendapat Umar, tetapi Umar terus mendesak dengan alasan demi kemaslahatan orang-orang Islam. Akhirnya Allah membuka hati Abu Bakar dan beliau pergi menemui Zaid bin Sabit.
”Umar datang kepada saya dan mengusulkan agar Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mashaf. Sebagai penulis wahyu di zaman rasulullah, kami mempercayai untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Demi Allah, jika semua perang membebani saya untuk memindahkan gunung itu tidak seberapa beratnya ketimbang mereka menyuruh saya mengumpulkan Al-Qur’an ini,” kata Abu Bakar.
”Lalu, bagaimana anda akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?” tanya Zaid.
”Demi Allah, saya juga melihat itulah yang terbaik.” Allah membuka hati Zaid, sebagaimana telah melapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Dari kisah tadi kita tahu bahwa yang dilakukan Abu Bakar bukan menulis Al-Qur’an karena Al-Qur’an telah ditulis pada zaman Nabi tetapi mengumpulkannya ke dalam satu mushaf, setelah sebelumnya tertulis dalam lembaran-lembaran daun, kulit dan tulang yang terpisah. Zaid bin Sabit menjelaskan bahwa : ”Aku mulai melacak dan mengumpulkan al-Quran dari lempengan-lempengan, tulang-tulang bahu, kepingan-kepingan pelepah pohon kurma. Setelah lembaran-lembaran itu kucatat ke dalam beberapa jilid. Setelah terhimpun dan tersusun al-Qur’an itu dengan baik, maka disimpan di tempat Abu Bakar, kemudian di tempat Umar dan di tempat Hafsah Ummul mukminin. Keterpaduan antara Abu Bakar, Umar dan zaid bin Sabit -sebagai otaknya- dan ditambah kerja-sama yang baik dengan sahabat-sahabat lainnya, sampai al-Quran berhasil dikumpulkan dalam satu jilid. Keterpaduan dan kerja-sama ini, sangat sosiologis sekali.
D. Metode Istinbath Hukum
Dalam memberlakukan istinbath hukum, Abu Bakar menggunakan metode yang bervariasi, antara lain :
- Mencari ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Al-Qur’an.
- Apabila tidak menemukannya dalam Al-Qur’an, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah; bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Sunnah.
- Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah Rasul Allah Saw. telah memutuskan persoalan yang sama pada ketika Nabi masih hidup. Jika ada yang tahu, ia menyelesaikan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
- Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan di antara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan. Kadang-kadang beliau memberlakukan maslahah demi kesejahteraan umat Islam.
E. Kesimpulan
Abu Bakar adalah khalifah pertama dari khulafa’ al-Rasidyin, seorang sahabat Nabi yang sangat dekat-sehingga beliau siberi gelar oleh Nabi dengan al-Shiddiq- dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam (assâbiqûn al-awawalûn). Abu Bakar seorang pemimpin yang demokratis mempunyai ide-ide brilian (ijtihad), sehingga keberadaan umat Islam tetap legitimate dan proporsional pasca Rasulullah Saw. wafat, terutama dalam menghadapi masalah-masalah sosial. Beliau telah berhasil menumpas dan meluluhkan-lantakkan kaum murtaddin yang ingin merongrong sendi-sendi dan pranata keislaman, menumpas golongan anti zakat, mendirikan lembaga Keuangan, lembaga Peradilan, berijtihad dalam pengumpulan al-Qur’an, merespon masalah warisan, hasil harta rampasan, membantu budak-budak Islam yang ingin merdeka, suksesi dan dan menetapkan calon khalifah (Umar ibn Khattab) sebelum beliau wafat yang akan menggantikan beliau pada perose selanjutnya, dan mengakomodir pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam. Dalam menganalisis ijtihadnya di berbagai perspektif, beliau berdasar pada Al-Quran, Sunnah, Ijma’, Maslahah, Sadd al-Zari’ah. membawa pada ker
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal dan Agus Ahmad Syafe’i, Sosiophologi: Sosiologi Islam Berbasis Hikmah, Bandung: Pustaka Setia, 2002
Al-Bukhari, Matan Masykul al-Bukhari, Juz IV, Semarang, an-Nur Asiya, t.th.
Ahmad Al Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2004
A. Sirry, Mun’im, Sejarah Fiqih Islam, Surabaya : Risalah Gusti, 1995
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam I, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001
Evan, Willeam M. (editor), The Sosiology of Law A social-Structural Perspective, New York : A Division of Macmillan Publishing Co., Inc, 1980
Hisyam, Ibnu, Sîrah Ibnu Hisyâm IV, Mesir : Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1937
Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, Jilid IX
Moh. Saifulloh Al Aziz, Keteladanan Negarawan Dari Empat Sahabat Rasulullah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, Surabaya : Terbit Terang, 2000
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000
Muhammad Husein Haikal, Abu Bakar As-Siddiq Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, Edisi Terjemahan, Jakarta : PT Pustaka Litera AntarNusa, 2006
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta: UI Press, 1985
Ahmad Al Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2004, hlm. 142 Muhammad Husein Haikal, Abu Bakar As-Siddiq Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, Edisi Terjemahan, Jakarta : PT Pustaka Litera AntarNusa, 2006, hlm.3
Dewan Redaksi, op.cit., hal. 40-41